Penulis: Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla**
RAPAT Paripurna DPR pada Mei 2024 secara resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perubahan Ketiga atas UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri) sebagai usul inisiatif DPR.
Namun, alih-alih menjadi langkah reformasi kepolisian yang transparan dan profesional, RUU ini justru menuai kritik tajam karena berpotensi menjadikan Polri sebagai lembaga “superbody” dengan kewenangan yang tak terkendali.
Sejumlah pasal dalam rancangan tersebut dinilai mengarah pada perluasan kewenangan kepolisian secara berlebihan (excessive power) tanpa disertai mekanisme pengawasan yang kuat.
Ironisnya, RUU ini justru mengabaikan berbagai problem mendasar dalam tubuh Polri, termasuk lemahnya akuntabilitas, maraknya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), serta pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang selama ini kerap terjadi.
Polisi atau Negara dalam Negara?
Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan lembaga negara telah lama mengkritisi tren otoritarianisme dalam institusi kepolisian. Data dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menunjukkan bahwa dalam periode 2020–2024, terdapat ribuan kasus kekerasan yang melibatkan anggota Polri. Sepanjang Juli 2020–Juni 2021 saja, tercatat 651 kasus, yang meningkat menjadi 677 kasus pada periode berikutnya.
Bentuk pelanggaran yang dilakukan kepolisian pun beragam, mulai dari penembakan, penganiayaan, penyiksaan (torture), penangkapan sewenang-wenang (arbitrary arrest), hingga pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing).
Fakta ini diperkuat oleh laporan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), yang mencatat 67 kasus kematian akibat extrajudicial killing sepanjang 2019, serta 130 kasus lainnya yang mencakup kriminalisasi, salah tangkap, hingga intimidasi terhadap masyarakat sipil.
Data Komnas HAM juga menunjukkan bahwa Polri secara konsisten menjadi institusi negara yang paling banyak dilaporkan terkait pelanggaran HAM.
Pada tahun 2023, tercatat 771 pengaduan terhadap Polri dari total 2.753 kasus yang masuk ke Komnas HAM. Laporan Ombudsman RI dalam empat tahun terakhir pun mengonfirmasi tren serupa, di mana Polri menempati peringkat teratas sebagai lembaga negara dengan laporan maladministrasi tertinggi.
Dengan berbagai catatan hitam tersebut, publik kini mempertanyakan: Apakah RUU Polri ini akan memperbaiki institusi kepolisian atau justru melanggengkan impunitas dan memperkuat dominasi Polri dalam struktur kekuasaan negara?
Kewenangan Tanpa Batas
Salah satu pasal kontroversial dalam RUU Polri adalah Pasal 16 Ayat (1) Huruf (q), yang memberikan Polri kewenangan luas dalam pengawasan ruang siber, termasuk pemblokiran dan pembatasan akses internet.
Sejarah mencatat bahwa pembatasan akses internet pernah digunakan untuk meredam kritik dan aksi protes masyarakat, seperti yang terjadi di Papua pada 2019.
Jika kewenangan ini disahkan tanpa kontrol yang jelas, maka kebebasan berekspresi di era digital berisiko dikekang atas nama “keamanan nasional”
Tidak hanya itu, RUU Polri juga memperluas kewenangan intelijen kepolisian secara drastis. Melalui Pasal 16A, Polri diberikan hak untuk melakukan “penggalangan intelijen,” sebuah tindakan yang bertujuan mempengaruhi individu atau kelompok demi kepentingan tertentu.
Padahal, di negara demokratis, fungsi intelijen umumnya dibatasi pada lembaga khusus seperti BIN atau BAIS.
Sementara itu, Pasal 16B memungkinkan kepolisian melakukan “penangkalan dan pencegahan” terhadap aktivitas yang dianggap mengancam kepentingan nasional—suatu istilah yang multitafsir dan rentan disalahgunakan untuk membungkam oposisi atau kelompok kritis terhadap pemerintah.
Parahnya lagi, RUU ini juga memberikan kewenangan penyadapan kepada Polri tanpa mekanisme izin pengadilan yang jelas, berbeda dengan KPK yang wajib memperoleh izin dari Dewan Pengawas sebelum melakukan penyadapan.
Dengan kewenangan sebesar ini, Polri berpotensi menjadi alat Politik yang dapat digunakan untuk mengawasi, mengintimidasi, dan bahkan mengkriminalisasi siapa saja yang dianggap mengganggu stabilitas kekuasaan.
Dwifungsi Gaya Baru?
RUU Polri ini juga dikhawatirkan membuka jalan bagi kebangkitan “dwifungsi” dalam institusi keamanan, di mana Polri tidak hanya berperan sebagai aparat penegak hukum, tetapi juga sebagai aktor politik yang dapat mempengaruhi jalannya pemerintahan.