Penulis: Khalil Ismail**
PADA 6 Agustus 2025 mendatang, Bank Aceh kembali ber-milad atau memperingati hari lahirnya yang ke 52, yang dihitung sejak peralihan status dari Bank Kesejahteraan Aceh, NV (Bank BKA) menjadi Bank Pembangunan Daerah Istimewa Aceh (BPDIA). Meskipun sebenarnya hari lahir yang sesuai dengan sejarah pendiriannya adalah pada tanggal 1 April 1958, yaitu pada saat para tokoh aceh menghadap Mula Pangihutan Tamboenan, Wakil Notaris di Kutaradja (Banda Aceh sekarang).
Mula Pangihutan Tamboenan mengeluarkan Akte Wakil Notaris Nomor 1 Tanggal 1 April 1958, maka sejak saat itu dinyatakan sah pendirian Bank milik pemerintah daerah, yang diberi nama Perseroan Terbatas (Naamloze Vennootschap) Bank Kesejahteraan Aceh, NV, yang disingkat dengan “BANK BKA”) dengan Modal Dasar Rp.25.000.000,- (Dua Puluh Lima Juta Rupiah).
Pemilihan Pengurus Bank di awal Pendirian
Dari sejarah Bank Aceh, kita juga bisa mengetahui sosok-sosok yang dipercayakan untuk menjadi pengurus bank. Pengurus bank yang silih berganti telah membentuk pondasi yang kuat, dan menjadi salah satu faktor yang sangat menentukan perjalanan bank ini. Hal ini sangat dipahami oleh pemilik bank.
Oleh karenanya, jika kita teliti dengan seksama, profil dan track record dari sosok-sosok yang ditunjuk tersebut adalah sosok-sosok yang sangat kredibel, berpengetahuan luas dan berwawasan jauh ke depan dalam melihat, bukan hanya prospek di masa mendatang, akan tetapi diperhitungkan juga dengan matang kemungkinan akan adanya tantangan dan kendala, resiko-resiko apa saja yang mungkin akan dihadapi oleh bank, baik di tingkat regional maupun internasional.
Atas dasar pemikiran dan perhitungan yang sangat matang ini, maka pemilihan pengurus bank tidak dilakukan serampangan, tidak asal-asalan, tidak ada unsur kepentingan politik, nepotisme, primordial, bukan pula untuk golongan tertentu, tidak juga dengan menabrak serta mengenyampingkan undang-undang dan peraturan yang berlaku yang dikeluarkan oleh pihak berwenang. Di samping itu sosok yang terpilih, meminjam istilah para netizen “bukan kaleng-kaleng”, tetapi sosok yang bersih dan amanah.
Dalam menjalankan tugas, tidak memperkaya diri dan anggota keluarganya. Meskipun saat itu tidak ada yang namanya Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), seperti yang berlaku dan dipersyaratkan untuk dilaporkan oleh seorang pejabat negara, atau pejabat publik saat ini, akan tetapi kita bisa melihat secara kasat mata, dari gaya hidup mereka serta harta kekayaan yang mereka miliki.
Dari pengamatan itu semua, kita bisa tahu, betapa sederhananya kehidupan mereka, meskipun mereka adalah pemimpin puncak pada sebuah institusi bank.
Memang pada saat itu, pemilihan pengurus bank lebih didominasi oleh sosok dari luar bank. Hal ini dapat dimaklumi karena bank belum memiliki sumber daya manusia yang mumpuni dari internal bank. Sehingga dalam pemilihan pengurus Bank, tidak ada persaingan yang tidak sehat, dan minim tingkah polah aneh, seperti sikut sana – sikut sini, tidak pakai katabelece dari pejabat berpengaruh, atau istilah masa kini “Ordal” (Orang Dalam).
Bagaimana Pemilihan Pengurus Bank Zaman Now?
Tinta emas telah tertoreh dalam buku sejarah Bank Aceh pada awal pendiriannya, hingga dekade tahun 2010, khususnya pada proses pemilihan pengurus bank. Pemilihan pengurus bank berjalan kondusif, aman dan ayem-ayem saja. Tidak terdapat gejolak yang berarti. Semua berjalan sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang telah diatur di dalam undang-undang serta peraturan yang berlaku.
Tidak pernah kita temui adanya pengurus bank yang dikenakan “Kartu Merah” dalam masa kepemimpinannya, bahkan yang kena “Kartu Kuning” pun jarang, termasuk yang “Off Side“, terkecuali jika pengurus bank tersebut melakukan kejahatan perbuatan pidana semasa bertugas.
Pertanyaannya, bagaimana pemilihan pengurus bank aceh sekarang..?. Ulasan sederhana ini tidak bermaksud untuk menyerang seseorang atau kelompok, tidak pula bermaksud membuka luka lama. Akan tetapi, hanya bertujuan untuk mengingatkan kita semua, bahwa dalam setiap proses dan mekanisme pemilihan pengurus bank ada aturan yang harus dipedomani serta diikuti.
Dengan mengikuti pedoman undang-undang dan aturan tersebut, maka bisa dipastikan, proses pemilihan pengurus Bank akan berlangsung dengan indah, sejuk dan bermartabat. Jadi tujuan utama adalah agar adanya perbaikan, mulai saat ini hingga umur bank ini berkelanjutan, dari generasi ke generasi, dari periode ke periode dan dari masa ke masa.
Sebenarnya bisa dimaklumi juga, mengapa pemilihan pengurus Bank Aceh di akhir-akhir ini sering terjadi gejolak. Hal tersebut boleh jadi karena Bank Aceh telah tumbuh dan berkembang dengan baik. Sebagai orang yang pernah berada di Bank Aceh selama 25 tahun, tidak menduga sama sekali, bahwa perkembangan Bank Aceh sedemikian pesatnya, dengan total aset telah mencapai Rp.31,9 triliun. Dana Pihak Ketiga (DPK) Rp.26,2 triliun, Pembiayaan Rp.20,4 triliun, Laba Rp. 449,9 miliar, dan dengan jumlah karyawan yang telah mencapai 2.228 orang.
Pertumbuhan Bank Aceh yang pesat telah menimbulkan keinginan banyak orang-orang pandai, bukan hanya di daerah ini, tetapi juga yang datang atawa di “datangkan” dari belahan lain negeri ini, oleh mereka yang memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk itu. Jadi banyaknya minat untuk menjadi pemimpin atau pengurus Bank Aceh adalah hal yang wajar serta sah-sah saja.
Permasalahan yang timbul pada pemilihan pengurus Bank Aceh akhir-akhir ini, bukanlah pada “siapa yang menjadi pengurus”, tidak peduli kita, mau produk “lokal” ataupun produk “impor”, asal memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan di dalam Undang-Undang, akan tetapi “bagaimana pengurus itu dipilih”, inilah masalahnya. Demikian juga bukan pada “siapa yang diberhentikan”, akan tetapi “mengapa dan bagaimana cara pengurus itu diberhentikan”.
Pemilihan Pengurus Bank Aceh sebelum ini telah berlangsung dengan baik, sesuai dengan mekanisme dan alur yang digariskan oleh Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT) Nomor 40 Tahun 2007, khususnya di dalam Bab VII, dari pasal 92 hingga pasal 107. Maupun oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Umum, khususnya Bab III yang mengatur tentang Direksi, dari pasal 6 hingga pasal 34. Ada juga POJK Nomor 27/POJK.03/2016 Tanggal 22 Juli 2016, dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 39/SEOJK.3/2016.
Di dalam peraturan tersebut semua telah diatur, yaitu mulai dari syarat-syarat calon Direksi, seleksi adminitrasi para calon yang dilaksanakan oleh Komite Nominasi di Bank. Selanjutnya diajukan ke pemilik atau Pemegang Saham Pengendali (PSP), kemudian dipilih dan diputuskan di dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB).
Mereka yang telah terpilih di dalam RUPSLB diajukan ke OJK untuk dilakukan penelitian dan pemeriksaan lebih lanjut, baik yang bersifat administratif dan track record serta kinerja si calon. Sebelumnya, termasuk yang mencakup moral, etika serta pergaulan sehari-hari di tengah masyarakat. Terakhir, para calon yang lulus dari penelitian tersebut, diwajibkan menjalani Uji Kelayakan dan Kepatutan (Fit and Proper Test).
Apa yang telah diatur di dalam Undang-UndANG dan POJK, baik yang terkait dengan mekanisme dan prosedur pemilihan maupun pemberhentian pengurus Bank Aceh, tidak sepenuhnya di pedomani, hal ini menyebabkan terjadinya kekisruhan, baik di tengah-tengah masyarakat maupun di internal Bank. Ini bisa terjadi karena beberapa sebab, antara lain karena kurangnya pengetahuan para pemegang saham yang menyangkut prosedur, adanya kepentingan para pihak,serta memasukkan unsur-unsur politik di dalamnya.
Disadari atau tidak, cara-cara yang ditempuh seperti ini, berpotensi merugikan bank, karena timbulnya resiko reputasi dan turunnya kepercayaan masyarakat kepada bank, bisa jadi juga kepada pengurus bank, khususnya dari para pengguna jasa bank (nasabah).
Dalam kasus seperti ini, maka peran OJK sangat dibutuhkan, ketegasan OJK sangat diharapkan, untuk mencegah akrobat ini terulang dan berlanjut dikemudian hari. OJK adalah benteng terakhir untuk mengakhiri polemik ini.
Kehadiran OJK ini sesuai dengan maksud pembentukannya, yaitu untuk mewujudkan sistem keuangan yang teratur, adil, transparan dan akuntabel, serta sesuai pula dengan tujuannya, sebagaimana tercantum di dalam pasal 4 Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel dan mampu mewujudkan sistem keuangan yang secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan KONSUMEN dan MASYARAKAT.
Sebagai benteng terakhir dalam menyelesaikan masalah ini, tentu tidak akan ada pihak yang bisa mempengaruhi keputusan OJK, meski banyaknya dukungan dan pendapat dari berbagai pihak terlebih lagi dari pihak berpengaruh.
Masyarakat yakin, bahwa tidak ada pihak yang perlu mengajari OJK dalam menangani masalah ini, karena itu sama saja dengan kita mengajari pelatih tari untuk memilih penari yang sesuai dengan kriteria yang kita inginkan.
Jika di kemudian hari ternyata yang dipilih tersebut tidak berkompeten untuk menari, maka pelatih tari yang akan menerima cemoohan penonton. Akibatnya hilang kepercayaan kepadanya.
Sepengetahuan penulis, baru sekarang ini ada RUPSLB Bank Aceh yang dilaksanakan berkali-kali dalam waktu satu bulan, bahkan boleh jadi di seluruh perbankan yang ada di dunia ini.
Oleh karena itu, OJK harus mampu menghentikan praktek bongkar pasang pengurus bank seperti ini terus terjadi, jika tidak, tentu akan menyebabkan timbulnya keengganan dari mereka yang berminat dan memenuhi syarat untuk menjadi calon pengurus.
Khususnya dari internal bank, yang usia mereka relatif masih muda, energik tapi masih lama pensiun. Mereka khawatir dengan cara-cara pemberhentian yang mendadak di tengah jalan seperti ini menimpa mereka.
Mereka lebih memilih menjadi karyawan Bank Aceh hingga pensiun normal, dari pada menjadi penganggur intelek di masa muda.
Kekhawatiran kita juga mungkin bisa terjadi yaitu keengganan masyarakat Aceh, Indonesia dan dunia untuk berhubungan serta bekerja sama dengan Bank Aceh.
Sekali lagi, bagi kami, tidak penting, siapa dan dari mana si calon berasal.
Kami tidak peduli anak siapa dia. Kami tidak ingin anda memilih calon yang baik dari yang baik, apalagi calon yang buruk dari yang buruk.
Maka untuk kemaslahatan kita semua, yang kami inginkan adalah pilihlah calon Direksi BAS, yang THE BEST OF THE BEST. YANG TERBAIK DARI YANG BAIK.
**). Penulis adalah Direktur Kepatuhan Bank Aceh Periode 2006-2010