KEPERCAYAAN publik terhadap Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengalami penurunan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Berbagai survei menunjukkan bahwa citra kepolisian di mata masyarakat terus memburuk, dipicu oleh sejumlah kasus pelanggaran hukum yang melibatkan oknum aparat serta kurangnya transparansi dalam penanganannya.
Kondisi ini berdampak pada menurunnya kepatuhan hukum dan meningkatnya ketidakstabilan sosial, yang pada akhirnya mengancam efektivitas penegakan hukum di Indonesia. Untuk memulihkan kepercayaan tersebut, diperlukan reformasi internal yang menyeluruh dan peningkatan profesionalisme dalam tubuh Polri.
Survei terbaru dari Indikator Politik Indonesia merilis hasil Evaluasi Publik terhadap Kinerja 100 Hari Presiden Prabowo dan Kabinet Merah Putih pada 27 Januari 2025. Survei ini dilakukan terhadap 1.200 responden pada periode 16–21 Januari 2025 dan mencakup penilaian terhadap 11 lembaga negara.
Hasilnya menunjukkan bahwa Polri menempati peringkat ke-9 dalam tingkat kepercayaan publik, dengan 69 persen responden menyatakan masih percaya, sementara sisanya tidak percaya atau tidak memberikan jawaban. Hal ini bisa menjadi indikator bagi Polri untuk terus meningkatkan kinerja dan transparansi guna memperkuat kepercayaan publik.
Selain itu, laporan Ipsos Global Trustworthiness Index 2024, yang mengukur tingkat kepercayaan terhadap berbagai profesi di 32 negara, termasuk Indonesia, juga menunjukkan hasil yang mencemaskan. Dalam survei yang melibatkan 23.530 orang dewasa, termasuk 500 responden dari Indonesia, ditemukan bahwa Polri berada dalam daftar profesi yang paling tidak dipercaya oleh masyarakat.
Tingkat ketidakpercayaan terhadap kepolisian di Indonesia mencapai 41 persen, hanya sedikit lebih baik dibandingkan dengan politisi, yang memiliki tingkat ketidakpercayaan tertinggi sebesar 45 persen. Posisi Polri yang sejajar dengan politisi (dalam hal ini partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR))—dua institusi yang sering dikritik karena kurangnya transparansi—menunjukkan bahwa masyarakat semakin skeptis terhadap peran kepolisian sebagai penegak hukum
Salah satu faktor utama yang menyebabkan turunnya kepercayaan publik adalah banyaknya kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh oknum kepolisian. Sepanjang tahun 2024, berbagai tindak kriminal yang melibatkan aparat kepolisian mencuat ke permukaan, mulai dari pemerasan, penganiayaan, pembunuhan, hingga keterlibatan dalam jaringan narkoba.
Kasus-kasus seperti pemerasan Rp32 miliar oleh oknum polisi terhadap warga Malaysia di DWP 2024, penembakan siswa SMK oleh Aipda Robig, penolakkan pendampingan penangkapan pelaku pencurian mobil rental di Rest Area 45 Tol Tangerang-Merak oleh Kapolsek Cinangka, hingga kasus penembakkan Brigadir Joshua yang melibatkan Ferdy Sambo, semakin memperburuk citra kepolisian di mata publik.
Selain itu, kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan kasus-kasus ini memperparah ketidakpercayaan masyarakat. Proses hukum terhadap anggota kepolisian yang terlibat dalam tindak kriminal sering kali dianggap tidak transparan, dengan kecenderungan melindungi pelaku daripada menegakkan keadilan.
Kasus Ferdy Sambo, misalnya, baru terungkap setelah adanya tekanan besar dari masyarakat dan media sosial. Pola serupa juga terlihat dalam kasus-kasus lainnya, yang memperkuat persepsi bahwa Polri belum sepenuhnya menjalankan fungsi penegakan hukum secara adil dan akuntabel.
Presiden Prabowo Subianto dalam Rapat Pimpinan TNI-Polri 2025 menegaskan pentingnya integritas dalam tubuh aparat keamanan. Ia menyoroti bahwa kegagalan tentara dan polisi dapat menjadi ciri khas negara yang gagal. ”Ciri khas negara yang gagal ada tentara dan polisi yang gagal. Kalau berani pakai pangkat jenderal, harusnya saudara yang pertama berani menyerahkan jiwa saudara,” kata Prabowo.
Pernyataan ini menegaskan bahwa tanggung jawab aparat keamanan bukan hanya sebatas menjalankan tugas sehari-hari, tetapi juga memiliki komitmen penuh dalam mengorbankan diri demi menjaga keutuhan negara dan keselamatan masyarakat.