Elizabeth mengembuskan napas terakhir di Istana Balmoral di Skotlandia. Sang Ratu memang menghabiskan musim panasnya beristirahat di kediaman tersebut.
Tetapi, kepergiannya telah membawa imbas politik pula. Pasalnya, Skotlandia tengah mendorong kemerdekaan penuh dari Inggris.
Populasi negara itu mencapai 5,45 juta orang. Sepanjang sejarah, masyarakat tidak menunjukkan dukungan mendalam terhadap monarki. Raja Charles III lantas tiba pada kursi kekuasaan seiring gejolak berkecamuk.
Pemerintah semi-otonom Skotlandia dikendalikan oleh Partai Nasional Skotlandia (SNP). Pihaknya konsisten mengadvokasi Skotlandia untuk merdeka dari Inggris.
Pemimpin SNP, Nicola Sturgeon, menyinggung kepergian Inggris dari Uni Eropa. Para pemilik suara di negara itu dengan keras menentang Brexit. Artinya, menurut Sturgeon, referendum harus kembali digelar di Skotlandia setelah sempat kalah pada 2014.
Sturgeon mendesak agar pemungutan suara diadakan pada 2024. Dia bahkan menerbitkan rancangan undang-undang yang menguraikan rencana referendum. Tetapi, dia menghadapi penolakan dari Perdana Menteri Inggris, Liz Truss.
Alhasil, Mahkamah Agung Inggris akan melangsungkan sidang pada 11-12 Oktober. Pihaknya akan menentukan apabila Skotlandia bisa melakukan referendum tanpa persetujuan pemerintah Inggris.
“Masalah kemerdekaan tidak dapat ditekan. Itu harus diselesaikan secara demokratis. Dan itu harus melalui proses yang tidak tercela dan mendapat kepercayaan,” tegas Sturgeon pada akhir Juli.
Jajak pendapat menggarisbawahi keinginan serupa dari masyarakat Skotlandia pada Mei. British Future menemukan, lebih dari sepertiga warga menganggap akhir pemerintahan Elizabeth sebagai waktu yang tepat untuk menghapus jejak monarki Inggris.
Terlebih, Charles juga tidak menikmati popularitas seperti ibunya. YouGov mengungkap, hanya 52 persen warga Skotlandia yang meyakini dia akan memerintah dengan baik.
Analis mengatakan, kesetiaan SNP terhadap monarki berakhir dengan kemangkatan Elizabeth. Sebab, Charles tidak bisa menjembatani rakyatnya sebagaimana sang ibu.
“Sang Ratu menyatukan semuanya,” ujar penulis biografi Elizabeth, Clive Irving, dikutip dari Time.