BANDA ACEH – Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan calon presiden Prabowo Subianto seperti duet tak terpisahkan untuk merajut kekuasaan di era mendatang. Analis asing mengungkapkan pertanyaan berapa lama aliansi antara keduanya akan bertahan?
Prabowo akan melanjutkan program Jokowi di masa pemerintahannya mendatang. Sementara Jokowi sejak menjelang Pilpres telah secara tersirat maupun tersurat memberikan dukungan kepada Prabowo untuk menjadi pemenang.
Apalagi ada Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi yang menjadi pasangan Prabowo.Salil Tripathi, analis asing yang tinggal New York mengungkapkan pandangannya di Foreign Policy, menilai, Gibran memiliki pengalaman Politik yang terbatas sebagai Wali Kota Surakarta, namun kemungkinan besar ia bercita-cita menjadi presiden suatu hari nanti.
Jika Prabowo melihat Gibran sebagai ancaman, aliansi mereka mungkin akan terpecah.
“Pada usia 72 tahun, Prabowo hanya lima tahun lebih muda dari Presiden Soeharto ketika ia mengundurkan diri. Sementara tim kampanyenya harus menyangkal rumor bahwa ia dirawat karena stroke selama kampanyenya,” ungkap Salil, dalam tulisannya yang berjudul “How Will Prabowo Lead Indonesia?”.
Ia memaparkan, para ahli di Indonesia sering mengandalkan drama rakyat yang disebut wayang kulit sebagai metafora politik negara ini yang sulit dipahami.
Orang-orang hanya melihat sekilas apa yang terjadi di depan layar, dan apa yang terlihat mungkin tidak mewakili secara akurat apa yang terjadi. Masyarakat tidak mengetahui apa yang terjadi di balik layar.
Soeharto adalah ahli dalam ambiguitas seperti itu. Namun Prabowo dikenal lebih blak-blakan dan kasar, serta mudah marah —sebuah sifat yang ia sembunyikan selama kampanye presiden. Apakah dia mampu mempertahankan citranya yang gemoy (imut) saat memimpin Indonesia masih menjadi pertanyaan terbuka.
Jokowi Meninggalkan Warisan Kemunduran Demokrasi
Sementara Brooking Institute mengungkapkan analisa senada. Jokowi telah berbuat banyak untuk negara, yang kini ia serahkan ke tangan Prabowo, namun ia juga telah merusak banyak kemajuan yang diperoleh dengan susah payah di era reformasi.
Secara teori, Jokowi meninggalkan lingkungan politik yang lebih permisif bagi penggantinya untuk terus melanjutkan agendanya. Ia juga meninggalkan warisan kemunduran demokrasi.
“Akankah Prabowo memenuhi janji-janji Jokowi atau membawa negara ini ke arah yang berbeda? Hanya waktu yang akan memberitahu,” kata Natalie Sambhi, Nonresident Fellow – Foreign Policy, Center for East Asia Policy Studies, mengutip Brookings.edu.
Ia juga mengungkapkan, Prabowo memang mendapatkan keuntungan dari ‘efek ekor jas’ dari popularitas dan legitimasi Jokowi.
Namun presiden yang baru perlu mencapai keberhasilan awal, khususnya program bagi kalangan generasi muda, dengan lebih dari separuh dari 204 juta pemilih di Indonesia yang berusia di bawah 40 tahun memberikan suaranya pada pemilu baru-baru ini.
Karena ingin melihat kelanjutan kemajuan di era Jokowi, para pemilih muda tersebut akan mencari prospek pekerjaan yang lebih baik, perhatian yang lebih besar terhadap isu-isu lingkungan hidup serta akuntabilitas yang lebih besar dan berkurangnya korupsi.
Dengan media sosial yang menjadi sumber utama informasi (dan disinformasi), generasi muda Indonesia dapat mengakses lebih banyak informasi mengenai kinerja politik, sehingga para pemimpin tetap akuntabel.
Salil Tripathi kembali menjelaskan, Prabowo kemungkinan besar akan mengandalkan langkah-langkah populis yang berisiko untuk menopang dukungan dalam negeri, seperti rencananya untuk memperluas subsidi makanan di sekolah-sekolah di seluruh kepulauan Indonesia.
Timnya sendiri mengatakan bahwa proyek tersebut dapat menelan biaya sebesar Rp100-120 triliun pada tahun pertama.
Meskipun patut dipuji, rencana makan bersubsidi ini akan membebani anggaran Indonesia, dan mungkin akan memperlebar defisit fiskal negara.
Hal ini akan menyebabkan inflasi sementara Prabowo tidak akan didampingi oleh menteri-menteri yang teknokratis seperti di era Jokowi.
“Bagaimana dia bereaksi terhadap gejolak yang tak terhindarkan akan menjadi ujian baginya. Jika temperamen masa lalunya dibiarkan begitu saja, hal itu bisa menimbulkan bahaya bagi Indonesia,” ungkap Salil, yang pernah menjadi melaporkan situasi di Asia Tenggara era 1990-an, termasuk tentang jatuhnya Soeharto di Jakarta.