Minggu, 13/10/2024 - 16:37 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

NASIONAL
NASIONAL

Hashim Djojohadikusumo dan Masa Depan Pribumi di Indonesia New

image_pdfimage_print

OLEH: DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN

ADVERTISEMENTS
Dirgahayu Tentara Nasional Indonesia dari Bank Aceh Syariah

   

ADVERTISEMENTS
Hari Kesaktian Pancasila dari Bank Aceh Syariah

HASHIM DJOJOHADIKUSUMO (HDj) sebenarnya sangat ideologis dan memukau ketika berbicara di hadapan pengusaha properti beberapa hari lalu di Jakarta. 

ADVERTISEMENTS
Selamat & Sukses atas Pelantikan dan Pengucupan Sumpah Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)

Ideologis artinya dia menjelaskan bahwa pemerintahan ke depan, di bawah kendali Prabowo Subianto, akan menghadirkan Kementerian Perumahan Rakyat dan akan membangun 15 juta rumah rakyat. Dalam 5 tahun. Jika kekuasaan Prabowo masih didukung rakyat, katanya, rumah rakyat akan terbangun sebanyak 30 juta.

ADVERTISEMENTS
Selamat Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW

Kekuatan ideologis dalam pernyataan HDj semakin dahsyat ketika dia secara gamblang mengatakan bahwa kesempatan berusaha di sektor properti ini, terkait kehadiran Kementerian Perumahan,  menghadirkan kebijakan afirmasi (affirmative policy). Mayoritas pengusaha yang ikut bisnis tersebut adalah UMKM. 

ADVERTISEMENTS
Selamat Memperingati HARDIKDA - Hari Pendidikan Daerah

Seperti diberitakan berbagai media, HDj mengatakan untuk perumahan di perkotaan 9 naga, sebuah sebutan untuk segelintir konglomerat kita, boleh ikutan. Di pedesaan tidak. Sedangkan naga-naga kecil silakan. Boleh. Namun, HDj menggarisbawahi bahwa pribumi harus.

ADVERTISEMENTS
Ucapan Duka Cita atas Meninggal Dunia Bank Aceh Syariah Tgk H. Muhammad Yusuf A. Wahab

Selain ideologis, pernyataan HDj ini tentu memukau. Jika Prabowo berkuasa selama 10 tahun, maka perputaran bisnis di sektor perumahan adalah sebesar Rp3.000 triliun sampai dengan Rp6.000 triliun (asumsi satu unit rumah subsidi berkisar Rp100 juta-200 juta). 

Berita Lainnya:
Ridwan Kamil Sebut Visi-misi Anies Banyak Kesamaannya: Beda Diksi, Ujungnya Sama

Tentu saja jumlah ini akan mampu menciptakan pengusaha pribumi menjadi kelas menengah baru di Indonesia. Begitu juga serapan tenaga kerja bisa mencapai jutaan pemuda di sektor ini.

Djojohadikusumo

Ideologi Djojohadikusumo sebenarnya sudah menjadi ikon “affirmative policy” yang sukses di masa dulu.  Pada April 1955 Menteri Perdagangan Soemitro Djojohadikusumo, ayahnya Hashim, dengan dukungan Mohammad Natsir, Perdana Menteri RI, menargetkan munculnya kelas pengusaha pribumi di Indonesia. 

Saat itu ketimpangan ekonomi warisan kolonial Belanda membuat kaum pribumi mayoritas menjadi pegawai dan kuli/budak. Belanda selama ratusan tahun menciptakan kaum pedagang adalah kalangan Tionghoa dan Arab.

Tentu saja kebijakan ini tidak dapat diterima oleh kaum Tionghoa. Hal ini dapat dimengerti karena kebijakan seperti ini dianggap mereka sebagai diskriminasi. 

Di masa itu, setelah Bung Karno “kembali berkuasa”, dengan faham sosialisme dan berkolaborasi dengan Peking, kebijakan ini dihilangkan. Soekarno lebih memilih jalan sosialisme tanpa mengkhususkan “affirmative policy” kepada kaum pribumi. 

Mohammad Natsir dan Djojohadikusumo tersingkir dari kekuasaan Soekarno paska Dekrit Presiden 1959. Akhirnya Djojohadikusumo membantu pemerintahan Malaysia menerapkan kebangkitan ekonomi kaum Melayu di sana, sebuah affirmative policy, yang diterima semua golongan etnis.

Affirmative Policy Versus Diskriminasi

Berita Lainnya:
Sosok Ester Tantry, Politisi Demokrat Meninggal Dunia dalam Kebakaran Speedboat di Pelabuhan Bobong

Pada saat kebijakan affirmasi 1955 dulu, kesenjangan sosial berbasis etnik tentunya tidak separah sekarang. Dahulu, kalangan kaya adalah kaum Eropa, khususnya Belanda, yang menguasai perkebunan, tambang dan perdagangan. 

Sekarang, kesenjangan etnis sesungguhnya mirip dengan pribumi versus VOC (Kompeni Belanda) dulu. Dan tentu saja kita tidak bisa merubah aturan, karena VOC berkuasa saat itu. Namun, jika sekarang yang berkuasa adalah bangsa kita, maka semuanya tentu dapat dibicarakan secara terbuka dan adil.

Soeharto dulu coba menggeser istilah pribumi versus non pribumi dengan penguatan koperasi dan UMKM. Affirmative policy di era Soeharto ditandai dengan penggalakan peran KUD (Koperasi Unit Desa) dan koperasi lainnya. 

Selain itu, sektor perkebunan diatur kepemilikan inti plasma, di mana perusahaan hanya boleh menguasai lahan 20 persen. Selanjutnya pemerintah menggerakkan perbankan untuk mengalokasikan 20 persen plafon kepada UMKM. Selain itu, BUMN harus menyisakan labanya sebesar 5 persen untuk pembinaan UMKM dan koperasi.

Namun Soeharto gagal menciptakan pemerataan. Sebab, pilihan jalan kapitalisme era Soeharto mendorong pertumbuhan tanpa pemerataan. Sehingga, di akhir eranya, ketimpangan kepemilikan kekayaan di Indonesia sangat dalam. Hanya sekitar 300 konglomerat, mayoritas non pribumi, menguasai 70 persen perputaran ekonomi nasional.

1 2

Reaksi & Komentar

وَوَصَّىٰ بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَىٰ لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ البقرة [132] Listen
And Abraham instructed his sons [to do the same] and [so did] Jacob, [saying], "O my sons, indeed Allah has chosen for you this religion, so do not die except while you are Muslims." Al-Baqarah ( The Cow ) [132] Listen

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi