Oleh: Damai Hari LubisPengamat Hukum & Politik Hukum Mujahid 212
(Abstrak, KPK. menjadi Komisi Penyubur Korupsi influencer)
Adapun dalil hukum KPK. untuk “menolong membebaskan” Kaesang dari jerat delik Gratifikasi yang terdapat pada Pasal di dalam UU. Tentang Pemberantasan TIPIKOR, sehingga dari sisi perspektif hukum melalui statemen Nurul Ghufron Wakil Ketua KPK. bahwa sesuai analisa hukum KPK terkait penerimaan gratifikasi dengan diwakili orang lain adalah hal umum. Namun, dalam hal ini yang diterima Kaesang adalah jasa yang hanya bisa dinikmati oleh penerimanya dan tidak bisa diberikan ke pihak lain.
“Nebeng ini jasa, yang langsung dinikmati dan bukan diperuntukkan kepada penyelenggara negaranya bapaknya Jokowi dan Gibran Bin Jokowi, kakaknya). Karena ini asumsi-nya jasa tersebut bukan untuk penyelenggara negara, bukan untuk orang tuanya atau bukan untuk kakaknya. Nah ini yang perlu dipahami karenanya kami (KPK) memandang bahwa jasa itu dinikmati dan untuk yang bersangkutan, bukan untuk penyelenggara negara, dan Kaesang sudah menikah, dengan pertanggungjawaban hukum sendiri, sudah tidak melekat atau ditanggungjawabi kepada Jokowi selaku orang tuanya,”
Dalil dengan penjelasan hukum KPK ini sama dengan penyuluhan hukum yang berkualitas negatif dan cenderung berdampak negatif, bakal dipraktekkan oleh para pejabat publik dan atau penyelenggara negara, juga oleh para aparatur ASN yang memang kian memiliki jiwa kriminil dan analogi hukum KPK ini, tentunya punya nilai edukasi sesat bagi publik umumnya, karena statemen hukumnya justru sebagai metode atau teoritis agar pelaku extra ordinary crime dapat terhindar dari jerat gratifikasi dengan pola sederhana, namun hasilnya bebas atau anti sanksi hukuman penjara. Karena “pola gila” yang diajarkan oleh KPK amat mudah disimpulkan dengan analogi yang tepat yang implikasinya bisa menghancurkan moral bangsa dan merugikan keuangan negara tak terhingga, karena keluarga pejabat publik atau keluarga penguasa pemerintahan dan atau para kerabat para para penyelenggara negara bisa aman “dititip” dalam bentuk jasa dengan nilai ekonomis (nominal) tinggi. Karena jasa yang diberikan kepada Kaesang dan istrinya adalah pengganti ticket dengan nilai nominal milyaran rupiah. Apa bedanya diberikan uang lalu membeli ticket ?
Sehingga hasil negatif dari edukasi KPK. Ilustrasi hukum lainnya “Anak anggota KPK atau anak kapolri atau anak Jagung RI atau serta keluarga para pejabat lainnya yang sudah menikah, dan beda rumah boleh ATAU HALAL “dititipkan hadiah” berupa jasa triliunan rupiah oleh para konglomerat dengan bentuk puluhan mobil mewah bahkan dititipkan jet untuk dijaga dan dirawat dan boleh menggunakan kendaraan mobil mewah dan terbang bersama pilot jet pribadi asalkan dinikmati sendiri oleh Kaesang, istrinya dan anaknya, bukan dinikmati oleh orang tua mereka yang presiden atau yang menjadi pejabat publik atau penyelenggara negara.
Oleh karenanya analogi atau contoh perilaku hukum selanjutnya dapat berkembang, bahwasanya terkait perbuatan hukum sebagai bagian gratifikasi sudah dianulir oleh KPK atau KPK keliru sebelumnya melarang pejabat yang pada saat pesta pernikahan anaknya diberikan kado atau bingkisan dalam bentuk diskon atau rabat terhadap sebuah jasa salon kecantikan atau perawatan wajah dan diskon senam body language, perawatan kulit, diskon operasi wajah dsb, termasuk ticket, atau karcis, panti pijat serta jasa pelayanan seks, berapapun nilai potongan harga tersebut jumlahnya serta ribuan kali pun menerima jasa gratifikasi discount/ rabat dimaksud. Sungguh anomali dari waras nya batasan pola berpikir ALIAS KPK BERPIKIR GILA-GILAN !
Karena logika hukum dari elemen yang dimaksudkan KPK melalui Ilustrasi hukum yang disampaikan Gufron, “Kaesang terbebas dari pasal gratifikasi, sama dengan resepsi pesta nikah, yang umumnya ijab kabul nya sudah dilaksanakan. Karena dianalogikan Kaesang sang anak Jokowi sang Presiden saat itu sudah menikah dan hadiahnya adalah untuknya (sang anak) dinikmati langsung sendiri oleh Kaesang dan istrinya, bukan oleh bapaknya atau Gibran RR.FF sebgai pejabat walikota Solo (saat tempus delicti dilakukan oleh Kaesang) dan sesuai asas dan teori hukum Kaesang yang sudah menikah, andai melakukan delik pidana tentunya harus menanggung akibat (pidana) sendiri, Jokowi selaku Bapaknya tidak ikut menanggung akibat hukumnya (ini contoh anak dibawah umur 12 tahun) andai melakukan tindak pidana, maka orang tuanya ikut bertanggungjawab secara keperdataan, karena Kaesang anak Jokowi yang sudah dewasa serta sudah menikah.