BANDA ACEH – PDIP mengaku kasihan dengan Presiden RI Prabowo Subianto yang dipaksa menjadi influencer Calon Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi-Taj Yasin. Politisi PDIP Deddy Sitorus menyebut Prabowo Subianto terkesan diremehkan lantaran harus mempromosikan calon gubernur Jawa Tengah di tengah pekerjaannya sebagai Presiden.
Kata Deddy Sitorus, dari pandangan PDIP Prabowo Subianto sebagai Kepala Negara terkesan diremehkan oleh Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) karena disuruh untuk mempromosikan calon gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi di tengah kunjungannya ke Merauke.
PDIP mengaku hati mereka tersakiti melihat Presiden RI dibuat seperti itu.
Hal itu diungkapkan Deddy Sitorus dalam konferensi pers bersama PDIP yang digelar Kamis (28/11/2024).
“Kami bersimpati dan kasihan melihat Presiden Prabowo ketika kami melihat beliau tidak dihormati selayaknya seorang Presiden,”
“Bayangkan seorang Presiden setelah kunjungan kerja di hari Minggu untuk ke Marauke harus terbang ke rumah seorang mantan Presiden dan kemudian kesan kami dipaksa untuk menjadi influencer calon gubernur, hati kami tersakiti,” ucapnya.
Oleh karenanya, Deddy Sitorus mengimbau agar para pendukung Prabowo Subianto agar mendesak Presiden untuk memutus syahwat seorang Jokowi.
Caranya kata Deddy Sitorus yakni harus mengganti Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri.
Selain itu PDIP juga meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dievaluasi.
Pasalnya Listyo adalah orang paling bertanggungjawab usai oknum aparat kepolisian cawe-cawe dalam Pilkada Serentak 2024.
Hal itu disampaikan dalam jumpa pers yang turut dihadiri oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Wasekjen PDIP Adian Napitupulu, Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah, Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat dan Ketua DPP PDIP Ronny Talapessy di Kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (28/11/2024).
Deddy awalnya menyampaikan, jika Pemilu Indonesia kemarin termasuk Pilkada adalah Pemilu yang paling cacat karena ulah Joko Widodo atau Jokowi.
“Budaya Politik buruk ini kami menamakan sebagai budaya Jokowisme, karena bermula pada saat seorang penguasa bernama Jokowi dengan segala cara, dengan segala kekuasaan yang dimilikinya, melakukan upaya-upaya untuk menghasilkan pemilu sesuai keinginannya,” kata Deddy.
Menurutnya, dengan adanya hal itu, akhirnya digerakanlah Partai Cokelat yang menjadi kosakata baru dalam perpolitikan Indonesia masa kini.
“Sudah disebutkan di dalam gedung DPR, baik Komisi II maupun Komisi III juga sudah mensinyalir masalah ini. Jadi ini bukan sesuatu yang baru. Kami di PDI Perjuangan terus terang sedih, karena yang dimaksud Partai Coklat ini sudah barang tentu adalah oknum-oknum kepolisian. Cuma karena tidak hanya satu, tidak hanya satu tempat, mungkin sebaiknya kita tidak menyebut oknum-oknum,” ucap dia.
Dia mengatakan, Partai Cokelat bergerak sudah berdasarkan komando, dan orang yang paling bertanggung jawab di balik itu adalah Kapolri Listyo Sigit.
“Beliau bertanggung jawab terhadap institusi yang dia kendalikan, yang dia pimpin, yang ternyata merupakan bagian dari kerusakan demokrasi kita. Ini tanggung jawab yang saya kira harus dibebani dipikul sepanjang sejarah kita,” ujarnya.
Padahal, kata Deddy, Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri sudah bersusah payah memisahkan Polri dari ABRI.
Tujuannya tak lain untuk melayani dan melindungi masyarakat. Namun yang terjadi justru aksi Kepolisian sangat parah dalam Pilkada.
Atas dasar itu, menurutnya PDIP sudah mendalami agar Kepolisian kembali didorong berada di bawah Panglima TNI atau Kementerian Dalam Negeri.
“Tetapi perlu diketahui bahwa kami sudah sedang mendalami kemungkinan untuk mendorong kembali agar Kepolisian Negara Republik Indonesia kembali di bawah kendali Panglima TNI. Atau agar Kepolisian Republik Indonesia dikembalikan ke bawah Kementerian Dalam Negeri,” katanya.
“Tugas polisi mungkin jika nanti DPR bersama-sama bisa menyetujui, menjaga lalu lintas kita supaya aman dan lancar, berpatroli keliling dari rumah ke rumah agar masyarakat tidur dengan nyenyak. Ada bagian reserse yang bertugas mengusut, mengurai, melakukan, menyelesaikan kasus-kasus kejahatan untuk sampai ke pengadilan. Di luar itu saya kira tidak perlu lagi, karena negara ini sudah banyak institusi yang bisa dipakai untuk menegakkan hukum, jadi polisi fokus pada itu. Itulah refleksi kami terhadap institusi Kepolisian,” ungkap dia.