BANDA ACEH – Keputusan KH Miftah Maulana Habiburrahman atau Gus Miftah untuk mundur dari jabatannya sebagai Utusan Khusus Presiden telah menjadi sorotan utama dalam diskusi publik. Langkah ini bukan hanya mencerminkan keberanian pribadi, tetapi juga menggugah kesadaran tentang pentingnya integritas dalam kepemimpinan nasional.Menurut KH Imam Jazuli, Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon, keputusan Gus Miftah adalah cerminan sikap ksatria yang jarang ditemui. “Ini adalah langkah yang menunjukkan tanggung jawab moral seorang pemimpin. Gus Miftah telah mengutamakan kehormatan pribadi dan tanggung jawab kepada bangsa di atas kepentingan mempertahankan jabatan,” ujar Kiai Imam, Jumat (6/12/2024).
Ia membandingkan langkah tersebut dengan prinsip moral dalam budaya Jepang, di mana kehormatan sering kali diutamakan di atas segalanya. “Seperti dalam budaya Samurai, di mana tanggung jawab kepada masyarakat lebih penting daripada jabatan. Sebaliknya, di Indonesia, kita masih sering melihat pejabat yang bertahan meski didera kritik atas pelanggaran etika,” tambahnya.
Kiai Imam menilai bahwa keputusan Gus Miftah layak mendapat apresiasi publik. Sebagai pemimpin, Gus Miftah menunjukkan keberanian untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf secara terbuka kepada Presiden dan rakyat Indonesia. Langkah ini, menurutnya, adalah simbol keberanian di tengah iklim Politik yang sering kali penuh basa-basi.
“Seorang pemimpin tidak harus sempurna, tetapi ia harus tulus dan bertanggung jawab. Gus Miftah, yang dikenal sebagai ‘presiden para pendosa,’ telah menunjukkan bahwa kualitas seorang pemimpin tidak diukur dari gelar akademis atau tampilan formal, melainkan dari keberanian dan ketulusannya dalam melayani rakyat,” ujar Kiai Imam.
Ia menambahkan bahwa bangsa ini membutuhkan lebih banyak pemimpin berjiwa ksatria seperti Gus Miftah. “Pemimpin yang berani mengakui kesalahan dan mengambil tindakan untuk menjaga harmoni bangsa adalah aset berharga bagi negara ini,” tegasnya.
Menurut Kiai Imam, keputusan akhir mengenai pengunduran diri Gus Miftah ada di tangan Presiden Prabowo. Apakah pengunduran diri ini akan diterima atau tidak, semuanya tergantung pada kebijakan dan pertimbangan Presiden. Ia juga menyebut bahwa Presiden Prabowo, yang berlatar belakang militer, memiliki otoritas untuk menilai jiwa ksatria seseorang.
“Jika permohonan Gus Miftah dikabulkan, ini akan menjadi contoh kuat bagi para pejabat lain agar tidak mengecewakan rakyat. Sebaliknya, jika tidak dikabulkan, hal ini menunjukkan bahwa Presiden memiliki keyakinan terhadap ketulusan dan keberanian Gus Miftah dalam mengemban tugasnya,” ujarnya.
Kiai Imam menegaskan, keputusan Gus Miftah untuk mundur adalah simbol keberanian seorang pemimpin sejati. Dalam situasi di mana kepercayaan publik terhadap pejabat sering kali rendah, langkah ini memberikan harapan baru bagi kepemimpinan yang berintegritas.
”Saya sendiri berpendapat bahwa tidak ada salahnya mempertahankan Gus Miftah, yang telah mengakui kesalahannya, meminta maaf kepada korban, keluarga korban, dan kepada masyarakat Indonesia secara luas. Seorang pemimpin mengakui kesalahannya sendiri dan meminta secara terbuka kepada rakyat Indonesia adalah permata berharga. Kita tahu setiap orang pasti memiliki kesalahan, dan memberinya kesempatan kedua bukan sikap berlebihan,” ujarnya.Jumat (6/12/2024).
Gus Miftah, menurut Kiai Imam, telah membuktikan bahwa mundur dari jabatan bukanlah tanda kelemahan, melainkan wujud tanggung jawab dan kekuatan moral. Sikap ini menjadi teladan penting di tengah krisis kepercayaan terhadap pemimpin dan pejabat publik, sekaligus memberikan inspirasi bagi terciptanya kepemimpinan yang lebih bermartabat.