-Utang pemerintah Presiden Joko Widodo hingga Februari 2022 sudah mencapai Rp 7.014,58 triliun, atau bertambah sekitar Rp 4.349,7 triliun dari semenjak awal memerintah di periode pertama pada tahun 2015.
Utang yang membengkak tersebut diklaim pemerintah lantaran ada pandemi Covid-19, sehingga mengharuskan pemerintah nenarik utang tambahan sebanyak Rp 2.122 triliun, atau sebesar 50 persen dari total utang pemerintah yang terhitung ditarik sejak tahun 2020 hingga akhir Desember 2021.
Namun, menurut Wasekjen DPP Partai Demokrat yang juga Staf Pribadi Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Ossy Dermawan, persoalan utang seharusnya tidak hanya dilihat dari nominalnya saja, seperti penjelasan yang disampaikan oleh Jurubicara Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo.
Ossy mengaku tersentak melihat metodologi perbandingan yang disampaikan Prastowo terkait dengan utang pemerintahan Jokowi yang dibandingkan dengan masa pemerintahan SBY.
“Yang disampaikan Mas Prastowo untuk melihat peningkatan utang dalam bentuk nominal saja, tentu ini merupakan perbandingan yang kurang adil,” ujar Ossy melalui akun Twitternya, Jumat (8/4).
Ossy mengatakan, dirinya menyampaikan kurang adil kepada Prastowo karena nominal utang yang dipaparkan setiap tahunnya akan terpengaruh oleh inflasi. Sehingga tidak tepat apabila tambahan utang era SBY yang sebanyak Rp 1.310 selama 10 tahun menjabat disebut kenaikan utang dari era-era Presiden sebelumnya.
“Artinya, utang Rp 1 juta tahun 2022 ini tidak dapat diperbandingkan dengan utang Rp 1 juta tahun 2005 dulu, karena daya belinya pada tahun tersebut juga pasti berbeda,” paparnya.
Lebih jelas lagi, Ossy memaparkan bahwa untuk menghilangkan efek inflasi nilai utang harus dinyatakan dalam bentuk relatif. Caranya adalah dengan membagi besaran utang di tahun tertentu dengan suatu variabel lain di tahun yang sama, misalnya terhadap produk domestik bruto atau GDP, sehingga terbentuklah Debt to GDP Ratio atau rasio utang terhadap GDP.
“Satuan pengukuran Debt adalah (mata uang) rupiah, satuan pengukuran GDP juga rupiah, sehingga rasio tersebut (rupiah dibagi rupiah) merupakan indeks yang sudah tidak dipengaruhi inflasi,” jelas Ossy.
“Selain tidak dipengaruhi inflasi, rasio tersebut juga mengandung makna yaitu: untuk menghasilkan Rp 1 GDP, berapa Rp Debt yang digunakan,” sambungnya.
Maka dari itu, Ossy menegaskan, bahwa cara menilai efektivitas kenaikan utang terhadap ekonomi di suatu negara tidak bisa hanya dari nominalnya saja, melainkan juga harus melihat rasio utang terhadap GDP.
Dari situ, Ossy tidak sepakat dengan pernyataan Prastowo yang menyebut zaman pemerintahan SBY juga menyumbang kenaikan utang pada setiap tahun sejak 2005 hingga 2014.
“Debt to GDP ratio berhasil diturunkan oleh SBY dari sekitar 56 persen pada tahun 2004 menjadi sekitar 24 persen pada tahun 2014 (selama 10 tahun),” ungkapnya.
Dengan rasio utang terhadap GDP yang semakin dikurangi di era SBY, mengindikasikan relatif kecilnya utang untuk hasilkan GDP, dan berarti beban fiskal pemerintah untuk bayar bunga dan pokok utang tersebut menjadi lebih kecil.
“Sehingga besaran fiskal yang tersedia untuk dorong ekonomi jadi lebih besar. Itulah sebabnya, di antara beberapa penyebab lain, mengapa laju pertumbuhan ekonomi SBY lebih tinggi dibanding Jokowi,” tegasnya.
Sementara itu, Ossy mencatat Debt-to-GDP ratio di era Jokowi sekarang ini menjadi naik lagi atau lebih tinggi dari periode terakhir SBY menjabat tahun 2014, yang mana berada pada kisaran 40 persen.
“Jadi silahkan rakyat menilainya. Karena, proporsi fiskal untuk membangun relatif lebih besar (era SBY), sehingga hasilnya laju pertumbuhan ekonomi alias GDP growth di masa SBY lebih tinggi dibandingkan saat ini,” demikian Ossy.