BANDA ACEH – Percaya diri, pemberani dan setia kawan, begitulah sosok Tubagus Guritno, pemimpin redaksi tabloidbintang.com yang berpulang di usia 45 tahun, Rabu (10/08) kemarin. Di lingkungan pergaulan dia dikenal sangat mudah dimintai pertolongan. Ada cerita menarik yang sedikit bisa melukiskan karakternya. Satu kali karyawati tabloid Bintang ditipu penjual yang memang berjualan dengan cara menipu dan sedikit hipnotis atau intimidasi. Kembali ke kantor dia menceritakan pengalamannya jadi korban penipuan. Mendengar ini, tanpa babibu Guritno langsung mengajak si karyawati kembali menemui si penjual. Si penjual itu dipaksa mengembalikan uang teman kami. Dan dia melakukan itu begitu saja, bukan karena ingin dibilang jagoan apalagi mengharap imbalan.
Sejak pertama mengenalnya, saya merasa cocok berteman juga memiliki anak buah seperti Guritno. Saya merasa dia orang yang bisa diandalkan, sebagai teman juga rekan kerja. Ketika dia memutuskan keluar dari Bintang, saya merasa berat melepasnya. Karena itu ketika saya membutuhkan reporter dan dia sedang menganggur, dia selalu menjadi pilihan. Begitu juga ketika saya dipercaya memulai tabloidbintang.com, dia orang pertama yang saya hubungi. Kalau dihitung, 20 tahun lebih kami bersama-sama sebagai rekan kerja. Tidak selalu dilalui dengan tawa canda, tapi tak ada yang saya sesali memilih Guritno sebagai teman dan rekan kerja.
Menjadi yatim piatu di usia yang sangat belia, tampaknya Guritno tahu betul makna kesetiakawanan juga perjuangan hidup. Saat baru bergabung di tabloid Bintang cetak di awal 2000, banyak yang dibuat terkejut tapi juga sekaligus salut dengan perjuangan yang dilalui dalam menyelesaikan pendidikannya. Demi terus bisa sekolah, saat SMP Guritno membantu ibu kantin yang jualan di sekolahnya. Masa SMP dan SMA, selain mulai melakukan segala macam pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup dia juga aktif berorganisasi. Ketika diterima kuliah di program studi sastra Jawa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, dia mengaku tak memiliki uang yang cukup. Dengan tanpa beban dia datang ke kampus UI dan menceritakan kondisinya apa adanya. “Lanjut boleh, enggak juga enggak apa-apa,” katanya menceritakan momen itu. Kisah berlanjut, Guritno menyelesaikan kuliahnya di UI dan meraih gelar sarjana.
Saat remaja, kalau mau memilih jalan mudah dengan menjadi preman, misalnya, Guritno punya bekal lebih dari cukup. Kondisi fisiknya mendukung, nyalinya besar, kalau terpaksa harus berkelahi dia siap kapan saja. Tapi saya tidak tahu, entah dari mana kesadaran itu datang. Guritno memilih jalan yang benar, meski itu sulit dan penuh tantanngan. Dengan segala keterbatasan kondisinya dia memilih terus sekolah sampai jenjang sarjana. Dia tahu artinya berusaha dan bekerja keras, sejak usianya masih sangat muda.
Dulu saya sering bertanya-tanya dalam hati, bagaimana Guritno melalui masa-masa sekolah tanpa orangtua yang mendampingi dan mensuport? Tapi menceritakan kesedihan hidup bukan gaya Guritno. Meminta belas kasihan juga bukan bagian dari karakternya. Dia punya cara sendiri mengenang masa kecilnya yang berat. Sekali waktu dia membuat postingan di sosial media, menceritakan waktu kecil sering mengantre pembagian daging korban bersama ibunya saat Hari Raya Idul Adha. Teman yang membaca postingan ini dan lalu membanding kondisinya saat itu yang sudah memiliki karier dan keluarga lumayan mapan, akan ikut bersyukur.
Tapi selain memiliki banyak karakter positif, orang yang tak terlalu mengenalnya sekali waktu mungkin akan dibuat kaget. Kadang dia terkesan melakukan sesuatu tanpa dipikirkan masak-masak akibatnya, terkesan cuek, bagaimana nanti saja. Ada kalanya gurauannya juga terasa sangat sarkas, bisa membuat orang yang mendengarnya salah sangka. Dulu ketika dia akan menikah, sehari sebelum hari H dia masih ngantor. Saya bertanya, besok jadi kan menikah? Ini sebetulnya pertanyaan aneh, tapi jawabannya lebih aneh lagi. “Jadi kalau enggak kesiangan,” katanya sambil cengengesan.
Tak ada yang menyangka Guritno akan pergi secepat ini, di usia masih sangat produktif, meninggalkan istri dan keempat anaknya yang kini menginjak remaja. Tanpa didahului sakit, kepergian mendadak Guritno meninggalkan duka mendalam bagi keluarga dan kami para sahabatnya. Selasa (09/08) kemarin harusnya kami rapat di kantor. Tapi lewat grup WA dia mengabarkan tak bisa hadir karena baru pulang dari Malang dan masih capek. Kami pun akhirnya sepakat rapat ditunda hari Kamis, tapi Rabu pagi kabar duka itu datang.