Ketua MUI Bidang Dakwah, M. Cholil Nafis mengatakan bahwa pasal terkait aborsi masih belum sesuai dengan ketentuan agama Islam. Aborsi hanya bisa dilakukan ketika terjadi kedaruratan medis, korban pemerkosaan, dan usia kehamilan sebelum 40 hari atau sebelum peniupan ruh. Perlunya ada tambahan tentang ketentuan bolehnya aborsi karena diperkosa itu harus usia kehamilannya sebelum usia 40 hari. Ulama sepakat tidak boleh aborsi sesudah ditiupnya ruh, usia kehamilan di atas 120 hari.
Cholil menambahkan, adanya fatwa Nomor 1/MUNAS VI/MUI/2000 menyebut melakukan aborsi (pengguguran janin) sesudah nafkh al-ruh hukumnya adalah haram, kecuali jika ada alasan medis, seperti untuk menyelamatkan jiwa si ibu. Demikian pula tindakan aborsi sejak terjadinya pembuahan ovum, walaupun sebelum nafkh al-ruh, hukumnya adalah haram, kecuali ada alasan medis atau alasan lain yang dibenarkan oleh syari’ah Islam. Sekaligus mengharamkan semua pihak untuk melakukan, membantu, atau mengizinkan aborsi.
Tanpa Islam, Akar Persoalan Tak Pernah Selesai
Lagi-lagi pemerintah meresmikan peraturan pemerintah dengan rincian pasal karet, alias bisa ditarik kemana-mana sesuai keinginan. Setelah ada pasal yang membolehkan pemberian alat kontrasepsi kepada pelajar meski ditambah dengan konseling , kini ada kebolehan aborsi untuk korban pemerkosaan yang hamil. Seolah menegaskan, tak mengapa anda seks bebas, ada undang-undang yang membolehkan anda aborsi jika ada janin yang tak diinginkan, soal indikasi yang harus disertakan agar aborsi bisa dilakukan seperti biasa akan ada banyak kecurangan hingga seribu alasan bisa diajukan.
Dalam PP 28/2024 kebolehan ini dianggap sebagai salah satu solusi untuk korban pemerkosaan. Padahal sejatinya tindakan aborsi akan menambah beban korban karena tindakan aborsi meski legal tetap berisiko. Mengapa bukan akar persoalan yang diperhatikan kemudian diadakan pencegahan?
Apalagi negeri ini mayoritas beragama Islam, jelas harus memperhatikan hukum islam atas aborsi yang haram dilakukan, kecuali ada kondisi-kondisi khusus yang dibolehkan hukum syara dan penyebab hingga terjadi pemerkosaan. Tidak lantas hanya karena menjadi korban pemerkosaan bisa begitu saja mengambil opsi menggugurkan janin.
Namun, alih-alih menggodok boleh tidaknya praktik aborsi kepada korban pemerkosaan akar persoalan tak tersentuh samasekali. Diawali dengan kasus aborsi Ilegal yang ternyata di lapangan bukan dongeng belaka. Bahkan hingga ada oknum tanpa keahlian di bidang kesehatan sama sekali berani membuka praktik aborsi adalah satu tanda permintaan aborsi sangat tinggi dan sistem kapitalisme menjadikannya sebagai salah satu cara mereka mendapatkan pendapatan.
Adanya kasus pemerkosaan di negeri ini sejatinya juga menunjukkan bahwa negara tidak mampu memberi jaminan keamanan bagi perempuan. Meski sudah ada UU TPKS pula, kriminal terhadap perempuan tetap marak. Oleh karena itu, negara harus mengupayakan pencegahan dan jaminan keamanan yang kuat atas perempuan. Dan hal ini mustahil bisa terwujud dalam sistem sekuler hari ini, dimana agama hanya dijadikan aturan ibadah individu, bukan pengatur urusan umat secara keseluruhan.
Perempuan dalam sistem sekuler terus saja menjadi korban, sebab dianggap hanya obyek. Baik ekonomi, sosial maupun lainnya. Padahal potensi yang dimilikinya sama dari Allah SWT. sebagaimana pria. Perempuan juga diperintahkan taat, jujur, amanah, dakwah dan lain sebagainya.
Dan Islam memuliakan perempuan, memberikan jaminan keamanan atas perempuan, sebab yang lebih istimewa, perempuan adalah ibu pengatur rumah tangga dan pendidik pertama, perempuan pencetak generasi, maka Islam juga memiliki sistem sanksi yang tegas dan menjerakan. Hanya agar tujuan utama sebagai pencetak generasi itu tercapai.
Sistem islam juga meniscayakan terbentuknya kepribadian islam yang menjaga indiividu berperilaku sesuai tuntunan Islam sehingga dapat mencegah terjadinya pemerkosaan juga pergaaulan bebas. Melalui pendidikan di berbagai tahapan dan semuanya berbasis akidah Islam.