Ada Kejanggalan dalam Kasus Roy Suryo

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

OLEH: ADIAN RADIATUS

PELAPORAN hukum berdasarkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE yang dilakukan oleh umat Buddha, Kevin Wu dan Kurniawan Santoso, terhadap Roy Suryo memasuki babak baru dengan ditahannya mantan Menpora itu secara fisik oleh penyidik Polda Metro Jaya beberapa hari lalu.

ADVERTISEMENTS

Tersangka Roy Suryo tampak pasrah meski pengacara berupaya melakukan permohonan penangguhan penahanan terhadap dirinya.

ADVERTISEMENTS

 

Perkembangan ini menunjukan seberapa tinggi derajat mutu hukum dalam kasus yang dituduhkan itu. Dan tentunya menarik untuk dicermati oleh publik sebagai preseden penilaian di masa depan.

ADVERTISEMENTS

Bahwa penistaan agama yang berdampak besar kepada citra agama itu sendiri, boleh atau tidak, dan bisa atau tidak, diatasnamakan oleh pribadi-pribadi, misalnya.

ADVERTISEMENTS

Dalam kasus tuduhan terhadap Roy Suryo ini tampaknya ada dua aspek yang patut dicermati. Pertama dari sisi agama Buddha itu sendiri tentunya patut diketahui bagian ajaran mana yang menunjukan kategori pelanggaran penistaan itu.

ADVERTISEMENTS

Kedua adalah terhadap aturan hukum negara yang dalam hal ini UU ITE yang dikenakan kepada Roy Suryo.

ADVERTISEMENTS

Bila seandainya ada rasa ketersinggungan terhadap perbuatan pengeditan wajah Sang Buddha yang ada di Candi Borobudur itu, maka tentu harus dicek dalam ajaran DharmaNya pada bagian ayat mana disebutkan hal itu dan yang layak mewakili sesungguhnya adalah Sangha atau Dewan Sangha (semacam Dewan Ulama) sebagai ‘penjaga’ ajaran DharmaNya.

Hampir dipastikan tak ada ajaran Sang Buddha terkait ketersinggungan, kemarahan, ataupun menjadi kebencian, hingga perlu menghukumnya dengan penderitaan yang apalagi bertubi-tubi bilamana ada orang atau pihak lain yang dipandang merendahan kemuliaan ajaran maupun simbol-simbol Buddha Dharma. Kekuatan cinta kasih ajaran Buddha sangat dirasakan dalam konteks ini.

Sebaliknya, bila secara hukum negara tentunya apa yang dituduhkan terhadap Roy Suryo bukanlah terhadap agama Buddha-nya, tetapi terhadap aturan pelanggaran menempatkan wajah lain tidak sesuai aslinya yang dalam hal ini wajah stupa Sang Buddha dengan wajah yang ditengarai sebagai wajah Presiden Joko Widodo yang semestinya dihormati bersama. Dan itu bukan perbuatan Roy Suryo.

Pertanyaannya, bila memang pelapor ingin mewakili pihak Presiden maka akan lebih terhormat dibanding upaya mewakili stupa Buddha yang bila kita berkunjung ke titik stupa yang sama di Candi Borobudur itu tak akan menemukan perubahan apapun.

Perubahan hanya ada difoto yang diedit oleh pembuatnya yang data-datanya telah diserahkan Roy Suryo ke penyidik.

Jadi perubahan yang dapat dikategorikan melecehkan Presiden Joko Widodo ini meski beliau sendiri tak pernah mengomentarinya, dapatlah dijerat sebagai penghinaan pribadi Presiden.

Pelaku pembuat meme itu harus dimintai keterangan dan bila terbukti maka proses hukum inilah yang semestinya berjalan.

Hingga dapat disimpulkan bahwa penistaan secara ajaran agama Buddha tampaknya tak relevan. Apalagi fakta adanya stupa Buddha berwajah Gus Dur yang dibuat seorang seniman pun tak pernah membuat umat Buddha merasa dinista.

Kualitas umat Buddha terkait penghinaan sudah teruji ribuan tahun. Tak perlu membalas karena karma berbuah pada pembuatnya dan bukan pada yang dihinakan.

Roy Suryo telah berbuat ikut serta memprotes di laman Twitternya terkait rencana kenaikan tarif masuk Candi Borobudur oleh umat Buddha yang demikian tinggi, namun justru kini harus menderita oleh pelapor atas nama umat Buddha itu sendiri. Miris.

Tampaknya memang para lembaga agama-agama di Indonesia yang pluralis ini perlu duduk bersama menemukan formula penanganan terhadap hal-hal yang dapat dikategorikan penistaan agama.

Agar suasana kesejukan dapat terus dijaga bersama dan situasi yang dirasakan adanya kejanggalan pada kasus Roy Suryo ini dapat dikembalikan pada tempatnya yang relevan di kedua hukum negara dan hukum agama itu sendiri.

(Penulis adalah pemerhati sosial politik)

Exit mobile version