Jumat, 15/11/2024 - 13:30 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

NASIONAL
NASIONAL

Akdemisi dan Guru Besar Singkap Tabir Gelap Sesat Hukum Kasus Mardani H Maming

BANDA ACEH, JAKARTA – Kasus gratifikasi dan suap yang menyeret Mardani H Maming menuai banyak kontroversi, kaca mata guru besar dan akademisi hukum melihat perkara tersebut sangat minim fakta hukum. Perkara yang menjerat Mardani H Maming ini menyoal perizinan tambang. Dimana perizinan itu sejatinya  telah melalui kajian di daerah hingga pusat. 

Bahkan, IUP yang dikeluarkan telah mendapatkan sertifikat clear and clean (CNC) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) selama 11 tahun.

Diketahui dari fakta persidangan, proses peralihan IUP ini juga telah mendapatkan rekomendasi dari kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Tanah Bumbu yang menyatakan bahwa proses tersebut sudah sesuai dengan aturan undang-undang yang berlaku, ditambah paraf dari Sekda, Kabag Hukum, dan Kadistamben

Akademisi yang cukup lantang membicarkan minimnya fakta tersebut, Praktisi hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Dr Muhammad Arif Setiawan. 

Berdasarkan kajian yang dilakukannya, Muhammad Arif mengatakan seharusnya pada peradilan itu yang dicari bukan siapa yang menang dan kalah namun keadilan itu yang dicari adalah kebenarannya.

“Sejauh mana Hakim itu benar-benar mengkaji pledoi yang diberikan oleh terdakwa,” ungkap Dr Muhammad Arif ketika menjadi pembicara dalam talk show CNN.

Arif Setiawan menjelaskan terkait pentingnya kecermatan hakim dalam memutuskan sebuah perkara di pengadilan agar keputusannya benar benar sesuai dengan kaidah hukum.

Hal tersebut sesuai dengan kontroversi yang muncul dalam kasus Mardani H Maming, karena putusan hakim tidak mempertimbangkan unsur unsur penting dalam sebuah perkara di pengadilan.

Dirinya menilai, keputusan hakim yang menjerat mantan Ketua BPP Hipmi tersebut belum memenuhi unsur pidana yang seharusnya dipertimbangkan oleh pengambil keputusan sebelum memvonis sebuah perkara di pengadilan.

“Surat dakwaan itu sebenarnya isinya ada dua yang sangat penting. Pernyataan tentang perbuatan materil yang dilakukan dan pernyataan tentang pelanggaran hukumnya yang dilakukan,” ujarnya.

Arif Setiawan menjelaskan seharusnya penegak hukum cermat dan teliti dalam menganalisa unsur unsur tersebut, baik itu formil maupun materil.

Dengan demikian keputusan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan dan hukum positif yang berlaku.

“Karena itu, pelanggaran hukum itu mesti pasal apa yang dilanggar. Disitukan ada, apakah terdakwa melakukan kesalahan berkaitan dengan surat dakwaan itu. Sehingga dengan demikian salah satu yang harus dibuktikan itu unsur. Unsur delik yang disangkakan itu terbukti atau tidak,” jelasnya.

Menurutnya, bila unsur unsur tersebut tidak terpenuhi, seharusnya pengambil Keputusan (hakim), mengadili perkara dapat membebaskan terdakwa.

“Unsur delik yang disangkakan itu terbukti atau tidak itu penting. Kalau tidak terbukti ya tidak bisa dipaksakan,” tambahnya mengakhiri.

Putusan Hakim yang memidana Mardani H Maming menurut guru besar Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Prof Yos Johan Utama, syarat dengan kekeliruan.

Berdasarkan kajiannya, mantan Rektor Undip ini, mengkritisi penghukuman yang dijatuhkan hakim terhadap Mardani H Maming terkait pasal yang dijeratkan kepada terdakwa.

Ia menyatakan bahwa keputusan Mardani H Maming selaku Bupati terkait pemindahan IUP dari aspek hukum administrasi adalah sah dan tidak pernah dinyatakan batal oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang merupakan pengadilan berwenang dalam ranah hukum administrasi.

Apalagi ada keputusan Pengadilan Niaga yang sudah inkrah dan menyatakan itu murni hubungan bisnis dan bukan merupakan kesepakatan diam-diam.

“Pengadilan Tipikor, yang merupakan pengadilan pidana, tidak memiliki wewenang untuk menilai keabsahan keputusan administrasi tersebut. Oleh karena itu, tidak ada pelanggaran hukum administrasi yang bisa dijadikan dasar pidana, dan terdakwa tidak bisa dipidana,” ujarnya.

Lanjutnya, majelis hakim pidana diduga khilaf dan keliru karena ketentuan yang dijadikan dasar dituduhkan kepada terpidana yakni pasal 97 ayat 1 undang-undang 4 tahun 2009 tentang pertambangan, mineral dan batubara adalah salah Alamat, karena larangan itu ditujukan hanya untuk pemegang IUP dan IUPK.

1 2

Reaksi & Komentar

ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ البقرة [199] Listen
Then depart from the place from where [all] the people depart and ask forgiveness of Allah. Indeed, Allah is Forgiving and Merciful. Al-Baqarah ( The Cow ) [199] Listen

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi