BANDA ACEH – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengungkap kasus dugaan korupsi pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dengan sumber Dana Siap Pakai (DSP) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2020.
Ada tiga tersangka yang dijerat dalam perkara itu, yakni:
Budi Sylvana, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes;
Ahmad Taufik, Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri;
Satrio Wibowo, Direktur Utama PT Energi Kita lndonesia.
Korupsi yang dilakukan ketiganya pada saat masa-masa pandemi virus Corona itu telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 319 miliar, berdasarkan penghitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
KPK menjerat Budi Sylvana dkk dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Lantas, apakah tiga tersangka tersebut bisa dihukum mati lantaran melakukan tindak pidana korupsi di masa bencana nasional?
Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan bahwa ancaman pidana mati turut diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Namun penerapan hukuman mati bersifat fakultatif.
“Bisa baca di undang-undangnya ya, di Pasal 2 ayat (2) ya. Silakan dicek, memang seperti itu adanya (ancaman hukuman mati, red). Cuma itu penerapannya ada kondisionalnya gitu. Ada syarat-syaratnya yang harus dipenuhi,” kata Asep kepada wartawan dikutip Jumat (4/10/2024).
Adapun dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 mengatur bahwa:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00.”
Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor kemudian menegaskan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Apa yang dimaksud dengan keadaan tertentu?
Penjelasan Pasal 2 ayat (2) dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan bahwa:
“Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.”
Status wabah Covid-19 di Indonesia sendiri telah ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional.
Kesimpulannya, penyalahgunaan alokasi dana penanggulangan wabah Covid-19 dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu.
Pelakunya dapat diancam dengan pidana mati.
Namun, Asep menekankan bahwa penerapan hukuman mati bagi tiga tersangka kasus korupsi APD Covid-19 tidak bisa sembarangan.
Ada unsur-unsur yang harus dipenuhi, dan KPK sedang melengkapi hal tersebut.
“Bahwa tindak pidana korupsi yang dilakukan pada saat terjadinya bencana, ini kan kategori bencana ya. Bencana itu. Diancam dengan hukuman mati. Itu opsional, artinya pasal itu bisa ditetapkan. Hanya saja kita sedang melengkapinya juga, gitu. Nah yang jelas-jelas masuk itu adalah Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3-nya, gitu. Ini kita melihatnya kan dari dokumen pengadaannya, seperti itu,” kata Asep.
Wacana hukuman mati bagi koruptor sebelumnya sempat digaungkan oleh Nawawi Pomolango yang saat itu menjabat wakil ketua KPK (sekarang ketua sementara KPK–red), Jumat, 4 Desember 2020.
Hal itu disampaikan Nawawi disela-sela pengumuman hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Bupati Banggai Laut (Sulteng) Wenny Bumamo.
“Benar bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi dalam situasi yang kondisi seperti ini, kondisi di mana negeri lagi menghadapi musibah wabah Covid seperti ini, tentu sangat berharap bahwa tidak ada perilaku-perilaku korupsi yang terjadi dalam kondisi yang serba susah seperti ini, sebagaimana juga yang dibutuhkan di dalam Pasal 2 ayat (2),” kata Nawawi dalam jumpa pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (4/12/2020).
“Bahwa ancaman hukuman mati bisa saja dilakukan pada mereka yang melakukan tindak pidana korupsi di masa ada bencana nasional, bencana sosial dan sebagainya,” sambungnya.
Nawawi mengatakan pihaknya akan mempertimbangkan terkait tuntutan hukuman mati ini.
Ia menyebut pandemi Corona bisa dijadikan alasan untuk memperberat hukuman pelaku korupsi.
“Tentu kita akan memperhatikan soal tuntutan ini, itu dijadikan sebagai alasan kondisi ini bisa kami dijadikan alasan untuk memperberat tuntutan yang kami ajukan,” katanya.
Nawawi menyebut perbuatan korupsi di tengah situasi sulit ini tidak bisa dibenarkan.
Untuk itu, dia menyebut akan mempertimbangkan untuk menuntut para pelaku korupsi dengan tuntutan maksimal.
“Setiap tindak pidana korupsi yang berlangsung di tengah situasi negeri dalam keadaan sulit seperti ini, itu menjadi alasan bagi komisi untuk menjadikan kemudian tuntutan itu maksimal paling tidak terhadap mereka mereka yang menjadi tersangka pelaku tindak pidana korupsi,” ucapnya