BANDA ACEH – Seorang sukarelawan di RS Shuhada Al-Aqsa, Mohammad Abu Salem, mengatakan pembantaian oleh tentara Israel terhadap warga Gaza adalah kenyataan sehari-hari yang harus dihadapi.
Abu Salem bergabung sebagai sukarelawan pada 19 Oktober 2023.
Ia adalah lulusan fisioterapi Universitas Islam di Gaza.
“Saya tahu bekerja di rumah sakit pada umumnya akan sangat sibuk, namun bekerja di rumah sakit selama perang berada pada level yang berbeda,” kata pria berusia 25 tahun ini kepada AlJazeera.
“Anda tidak tahu apa yang akan terjadi besok, apakah Anda akan hidup atau mati. Tapi, menyerah bukanlah suatu pilihan.”
Departemen fisioterapi menangani semua pasien setelah perawatan awal di ruang gawat darurat.
Setelahnya, departemen fisioterapi melanjutkan ke departemen lain seperti unit bedah atau bagian pediatrik.
Abu Salem berbicara kepada pasien, termasuk saudara laki-lakinya yang juga menjadi korban serangan, tentang sifat luka mereka, komplikasi yang mungkin timbul, dan cara menghindari risiko tersebut.
Ia beruntung bisa merawat sendiri saudara laki-lakinya yang mengalami luka ringan.
Meski demikian, Abu Salem tak menampik, mengobati orang yang dikenalnya cukup membuat stres.
“Suatu hari saudara laki-laki saya sendiri mengalami cedera – untungnya tidak serius,” katanya.
“Tetapi stres saat merawat orang yang Anda kenal, bisa sangat melemahkan.”
“Saya Hanya Berharap Keluarga Saya Tetap Hidup”
Dokter muda bernama Abdelrahman Abu Shawish, tak menyangka akan menjalani ‘peran’ penting sesaat setelah lulus dari sekolah kedokteran Universitas Azhar, Gaza.
Saat ini, Abu Shawish yang menjadi sukarelawan di departemen bedah di RS Shuhada Al-Aqsa, harus membuat keputusan penting untuk hidup pasiennya.
Dikutip dari AlJazeera, Abu Shawish harus memutuskan apakah korban luka memerlukan amputasi seluruhnya atau sebagian anggota tubuhnya.
Padahal, ia baru bergabung sebagai sukarelawan pada 10 Oktober 2023, tiga hari setelah eskalasi militer meningkat.
Ia mengaku kondisi para korban luka akibat serangan Israel, sama seperti periode sebelumnya.
Meski demikian, menurut dia, jenis luka yang didapat korban berbeda, termasuk jenis peluru yang mengenai mereka.
“Cedera (luka) yang saya lihat dalam perang (Mei) 2021, kurang lebih terlihat sama,” kata dia.
“Tetapi, kali ini, saya telah melihat begitu banyak jenis yang berbeda. Mulai dari luka bakar dengan tingkat yang berbeda-beda, anggota tubuh yang diamputasi, hingga laserasi yang dalam dan berbagai jenis pecahan peluru.”
RS Shuhada Al-Aqsa, yang seharusnya hanya melayani pusat kota Deir el-Balah, telah menjadi fasilitas perawatan utama di Jalur Gaza.
Lantaran, rumah sakit di Kota Gaza dan Gaza utara hancur total.
Hampir dua pertiga dari rumah sakit di Jalur Gaza – 26 dari 35 rumah sakit – telah berhenti berfungsi usai berminggu-minggu pemboman Israel di wilayah tersebut.
Selain itu, pengepungan total yang dilakukan Israel terhadap Gaza, menyebabkan rumah sakit kehabisan bahan bakar, listrik, dan air bersih.
“Persediaan medis kami sangat terbatas,” ujar Abu Shawish.
“Saat puluhan orang terluka datang ke rumah sakit karena serangan Israel, kami sering tidak dapat merawat mereka semua sekaligus karena kami perlu mensterilkan peralatan. Kami tidak punya cukup (peralatan medis).”
Kurangnya sumber daya membuat dokter tidak dapat berbuat lebih dari jumlah minimum yang diperlukan untuk menjaga pasiennya tetap hidup.
Perawatan yang semestinya juga tidak mungkin dilakukan.
“Kami tidak dapat mengeluarkan seluruh pecahan peluru dari tubuh orang yang terluka, hanya (merawat) bagian yang mengancam nyawa mereka (saja),” beber Abu Shawish.
“Tapi, pecahan peluru juga berbahaya, bisa menyebabkan infeksi dan menyebabkan kegagalan banyak organ, tapi kami berharap hal ini (pecahan peluru di dalam tubuh korban) dapat ditindaklanjuti setelah perang selesai.”
Buntut serangan Israel yang membumihanguskan Gaza, membuat Abu Shawish harus mengubur dalam-dalam mimpinya.
Yang terpenting baginya saat ini adalah keluarganya tetap hidup.
“Saya mempunyai impian besar sebelum perang, tetapi sekarang saya hanya berharap saya dan keluarga saya tetap hidup,” tandas dia.
“Tak Ada Waktu untuk Istirahat”
Di ruang gawat darurat, dokter muda wanita bernama Alaa Kassab menunjukkan kondisi pasien di mana bagian tubuhnya ada yang membiru.
Ia menjelaskan, pecahan peluru kemungkinan besar telah menimbulkan banyak kerusakan sehingga anggota badan si pasien tidak mendapatkan oksigen dan mungkin perlu diamputasi.
Kejadian seperti ini, ujar Kassab, terutama dialami oleh para anak-anak.
Hal tersebut berdampak pada dirinya hingga ia terkadang tak dapat bicara.
Hampir setiap hari, Kassab duduk diam untuk memulihkan kondisi mentalnya.
Kassab menyelesaikan studi kedokterannya di Universitas Ain Shams di Kairo, Mesir.
Ia kembali ke kampung halamannya di Deir al-Balah pada Februari 2023 lalu.
“Saya bermimpi untuk menyelesaikan tahun magang medis saya, kemudian bepergian ke luar negeri untuk menyelesaikan studi saya di bidang spesialisasi, sebelum akhirnya pulang ke Gaza,” urai dia.
“Apa yang saya lihat dalam dua minggu terakhir sejak menjadi sukarelawan, membuat saya semakin bertekad untuk menjadi seorang dokter.”
Ia mengatakan tidak ada waktu baginya dan tenaga medis lainnya untuk beristirahat.
Jumlah korban terluka semakin bertambah, hingga para dokter berada di bawah tekanan yang sangat besar.
“Tidak ada hari di mana kami dapat beristirahat,” kata dia.
“Jumlah korban terluka tidak pernah berkurang. Itu sebabnya saya menjadi sukarelawan, karena saya tahu para dokter berada di bawah tekanan yang sangat besar dan situasinya sangat sulit.”
Kassab mengatakan, RS Shuhada Al-Aqsa hampir mengalami kehancuran total dalam layanannya.
Tanpa peralatan bedah, bahan bakar, pasokan medis, atau personel yang memadai, para tenaga medis tidak akan mampu merawat pasien lagi, katanya.
“Tentu saja, saya di sini untuk melayani rakyat saya, dan saya tidak menyesalinya sedetik pun,” ujar Kassab.
“Tetapi, situasi di Jalur Gaza sangat buruk.”