BANDA ACEH – Majelis Ulama Indonesia (MUI) kembali menyoroti pentingnya ketelitian dalam proses sertifikasi halal setelah munculnya kasus produk pangan dengan nama-nama seperti tuyul, tuak, beer, dan wine yang mendapat sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Kasus ini mengingatkan pada skandal “wine” halal sebelumnya yang berujung pada pencabutan sertifikat dan tindakan hukum.
Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof. Asrorun Niam Sholeh, memimpin pertemuan investigasi yang diadakan secara hybrid di Kantor MUI pada Senin (30/9/2024). Hasil investigasi mengonfirmasi bahwa produk-produk tersebut memperoleh sertifikat halal melalui jalur Self Declare tanpa audit dari Lembaga Pemeriksa Halal dan tanpa penetapan dari Komisi Fatwa MUI.
“Penetapan halal ini menyalahi standar fatwa MUI dan tidak melalui Komisi Fatwa MUI. MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan produk-produk tersebut,” tegas Prof. Niam dikutip dari laman resmi MUI, Selasa (1/10/2024).
MUI menegaskan bahwa penetapan kehalalan produk harus mengacu pada standar yang ditetapkan oleh MUI.
Berdasarkan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 dan Fatwa MUI No. 44 Tahun 2020, produk yang menggunakan nama atau simbol yang mengarah pada kekufuran, kemaksiatan, atau berkonotasi negatif tidak dapat disertifikasi halal.
Prof. Niam menyatakan akan segera berkoordinasi dengan BPJPH untuk mencegah terulangnya kasus serupa.
“Kami akan berkomunikasi dengan Kemenag, khususnya BPJPH, untuk mendiskusikan masalah ini,” ujar Niam yang juga Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah ini.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Miftahul Huda, menambahkan bahwa sertifikasi halal melalui self declare mengandung kerawanan dan harus dilakukan dengan sangat hati-hati.
“Pihak-pihak yang terlibat harus memastikan produk tersebut jelas kehalalannya dan proses produksinya sederhana,” jelasnya.
MUI juga mengimbau agar semua pihak yang terlibat dalam penetapan kehalalan produk melalui mekanisme self declare lebih berhati-hati dan teliti.
“Jangan sampai merusak kepercayaan publik yang bisa berdampak buruk bagi upaya penjaminan produk halal,” tegas Prof. Niam.
Ditunjuknya Yakul sprtinya emng sngja utk menyesatkan kemenag,Perhatiin aja sejak dia jd Menag , Marwah kemenag smkin hancur lebur 😵💫😵💫
Masak web halal ada miras² 😤😏 pic.twitter.com/Pf5ms1qTca
— Zassō (@mulkanjabariyan) September 28, 2024
Self Declare Bermasalah
Sementara itu Direktur Halal Corner Aishah Maharani menyatakan titik lemah penetapan halal melalui metode Self Declare yang tanpa audit dari Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), seringkali menimbulkan masalah.
“Ini bisa menghancurkan reputasi Indonesia dalam penjaminan produk halal di mata global, gara-gara cara yang tidak profesional. Perlu ada perbaikan. Kalau tidak, metode ini dihapus saja,” kata dia dalam Forum Tabayun Komisi Fatwa MUI menyikapi laporan viral di media sosial terkait dengan tuak, beer, dan wine halal yang mendapatkan sertifikat halal.
Dalam kegiatan yang digelar online dan dihadiri sejumlah pakar pada Senin (30/9/2024) itu, Aisha mengatakan, metode Self Declare diperlukan manual Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) bukan sekadar narasi pernyataan dari pelaku usaha.
“Namun jika tidak bisa, metode Self Declare sebaiknya dihapus saja,” kata dia menyarankan.