BANDA ACEH – CEO JP Morgan Chase Jamie Dimon mengatakan secara blakblakan bahwa Perang Dunia III sebenarnya sudah dimulai.
“Perang Dunia III telah dimulai. Anda telah memiliki pertempuran di lapangan yang dikoordinasikan di banyak negara,” kata bankir internasional tersebut.
Dimon mengatakan kepada Institute of International Finance bahwa konflik yang terjadi di Ukraina dan Timur Tengah saat ini sudah merupakan konflik global.
“Saya berbicara tentang risiko bagi kita jika hal-hal itu memburuk,” kata Dimon, seperti dikutip news.com.au, Kamis (31/10/2024).
“Kami menjalankan skenario yang akan mengejutkan Anda. Saya bahkan tidak ingin menyebutkannya,” papar bos JP Morgan tersebut.
Dia mengatakan China, Rusia, Korea Utara, dan Iran merupakan “poros kejahatan” yang bertujuan menghancurkan komunitas global yang kooperatif yang terbentuk setelah Perang Dunia II.
“Mereka berbicara tentang melakukannya sekarang,” ujar Dimon, memperingatkan pertemuan para pemimpin keuangan global.
“Mereka tidak berbicara tentang menunggu 20 tahun. Jadi, risiko ini luar biasa jika Anda membaca sejarah,” paparnya.
Ini adalah ancaman yang melebihi “pendaratan lunak” ekonomi global dan perubahan iklim, imbuh Dimon.
“Ini mungkin berkurang seiring waktu,” imbuh miliarder Wall Street yang berpengaruh itu.
“Namun kesalahan bisa terjadi,” katanya.
“Lihat bagaimana kita tersandung pada Perang Dunia II. Ketika Cekoslowakia terpecah—kedengarannya seperti Ukraina—itu adalah akhir dari semuanya. Sampai mereka menginvasi Polandia.”
Eksekutif dengan gaji USD36 juta per tahun itu bukanlah satu-satunya suara yang menambahkan rasa urgensi atas terurainya geopolitik dengan cepat.
Komandan Angkatan Darat Amerika Serikat yang akan segera pensiun untuk pasukan di kawasan Pasifik mengatakan pada sebuah konferensi pertahanan di Washington DC awal bulan ini bahwa kolaborasi yang berkembang antara para diktator global dan para otoriter telah menghasilkan “kombinasi yang sangat berbahaya”.
“Ada perang regional terbatas yang sedang berlangsung di Eropa,” kata Jenderal Charles Flynn.
“Ada perang regional terbatas yang sedang berlangsung di Timur Tengah. Kita tidak mampu menanggung perang regional terbatas lainnya di Asia. Mengapa? Karena itu akan menjadi masalah global bagi kita semua,” paparnya.
Diktator Sedang Bergerak
Presiden China Xi Jinping mengatakan kepada pasukan Pasukan Roket yang dilengkapi senjata nuklir awal bulan ini bahwa mereka harus “secara komprehensif memperkuat pelatihan dan persiapan untuk perang”.
Instruksinya datang beberapa hari setelah pasukan Beijing menggelar demonstrasi militer skala besar di sekitar Taiwan. Jet tempur, pesawat nirawak, kapal perang, dan kapal Coast Guard mengepung pulau itu untuk keempat kalinya dalam dua tahun terakhir.
Partai Komunis China mengatakan pulau demokrasi independen berpenduduk 23 juta orang itu adalah haknya, dan menentang keras semua bentuk kemerdekaan.
Beijing menolak untuk mengesampingkan kemungkinan menggunakan kekuatan untuk mencaplok sisa pertahanan terakhir terhadap revolusi 1949.
Beberapa hari sebelumnya, Presiden Rusia Vladimir Putin sekali lagi menyampaikan kesediaannya untuk menggunakan senjata nuklir.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov menegaskan bahwa Barat “mencari masalah” dengan mempertimbangkan permintaan Ukraina untuk menggunakan rudal jarak jauh mereka guna menyerang jauh di dalam wilayah Rusia.
“Kami kini menegaskan sekali lagi bahwa bermain api—dan mereka seperti anak kecil yang bermain korek api—adalah hal yang sangat berbahaya bagi paman dan bibi dewasa yang dipercayakan dengan senjata nuklir di satu atau beberapa negara ketiga,” kata Lavrov.
“Orang Amerika dengan tegas mengaitkan percakapan tentang Perang Dunia III sebagai sesuatu yang, amit-amit, jika itu terjadi, akan memengaruhi Eropa secara eksklusif.”
Sementara itu, Rusia terus meningkatkan penggunaan pesawat nirawak dan rudal jarak jauh yang dipasok oleh Korea Utara dan Iran karena persediaannya sendiri berkurang.
“Kami tidak pernah mengalami situasi di mana seseorang mengancam pemerasan nuklir,” kata Dimon, merujuk pada Putin.
“Itu: ‘Jika militer Anda mulai menang, kami akan meluncurkan senjata nuklir’. Jika itu tidak membuat Anda takut, itu seharusnya membuat Anda takut.”
Poros Otoriter Mulai Bergerak
Minggu lalu, Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih mengonfirmasi telah mengamati keberadaan sekitar 3.000 pasukan khusus Korea Utara di dalam Rusia.
Pentagon menambahkan bahwa mereka yakin hingga 10.000 tentara Korea Utara sedang dimobilisasi, dengan unit-unit sudah dalam perjalanan ke garis depan Ukraina.
“Penempatan besar pasukan Korea Utara di Rusia merupakan fase baru yang meresahkan dalam perang Rusia-Ukraina sekaligus membawa implikasi yang lebih dalam bagi Politik global,” kata analis Brookings Institution Andrew Yeo dan Hanna Foreman.
Ini adalah komitmen pasukan pertama antara apa yang banyak disebut sebagai “Poros Otoriter”. Namun, ini bukan contoh pertama dari dukungan timbal balik.
Rusia telah menerima pengiriman pesawat nirawak jarak jauh Shahed dari Iran, dan sedang dalam pembicaraan untuk membantu mengisi kembali persenjataan misilnya.
China menghadapi tuduhan yang berkembang tentang dukungan di balik layar dengan menyediakan komponen penting yang dibutuhkan untuk memelihara sistem persenjataan canggih.
Sedangkan Korea Utara telah membuka persediaan amunisi artilerinya.
“Sejak Agustus 2023, Rusia dilaporkan telah menerima 13.000 kontainer pengiriman (Korea Utara) yang berisi peluru artileri, roket antitank, dan rudal balistik jarak pendek untuk mengisi kembali amunisi dan senjata Rusia yang sangat menipis,” kata para analis Brookings.
Sebagai imbalannya, mereka mengatakan, Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un kemungkinan akan menerima akses ekonomi yang lebih besar ke pasar Rusia dan bantuan teknis militer untuk teknologi nuklir, satelit, dan roketnya.
“Putin telah menunjukkan lagi bahwa, jauh dari terisolasi, negara-negara bersedia mendukung perang Rusia di Ukraina,” tulis Yeo dan Foreman.
“Upaya yang dilakukan Korea Utara untuk mendukung perang Putin dapat mendorong negara-negara lain seperti Iran untuk memperkuat hubungan militer bilateralnya sendiri dengan Rusia karena bersiap menghadapi kemungkinan eskalasi dengan Israel.”
Dampak Global
“Kita tidak boleh naif,” kata Dimon.
“Kita tidak boleh mengambil risiko bahwa ini akan selesai dengan sendirinya—kita harus memastikan bahwa kita terlibat dalam melakukan hal yang benar untuk menyelesaikannya dengan benar.”
Dan ancaman nuklir harus ditanggapi dengan serius, imbuhnya.
“Hanya masalah waktu sebelum hal-hal ini terjadi di kota-kota besar di seluruh dunia,” katanya mengacu pada kemungkinan konsekuensi jika lebih banyak negara memperoleh senjata nuklir.
“Saya pikir kita harus memiliki kejelasan dan mengesampingkan banyak hal untuk memastikan ini berakhir dengan benar.”
Dampak perang akan menghantam jantung setiap negara di dunia modern yang saling terhubung.
Laporan Bloomberg Economics bulan Januari memperingatkan bahwa perang yang melibatkan kekuatan militer yang signifikan akan merugikan ekonomi dunia sekitar USD10 triliun—sekitar 10 persen dari PDB global.