Sementara Jokowi sendiri telah sirna kekokohannya, linglung dan lemah bak tak bertulang, mirip cacing tanah, bahkan dirinya sendiri bakal tidak kuat untuk menopang kekuatan melawan para lawan penentangnya, yang ada hanya seorang “Gibran fufu fafa”, yang tidak jelas eksistensi batasan kekuasaannya dan tiada (memiliki) basis power politik maupun kelompok pendukungnya sebagai modal pertahanan dirinya.
Tentunya publik tidak keliru menilai, bahwa tingkat tendensi publik tehadap Jokowi amat serius, dan bentuk moral pressure yang akan datang bakal akumulatif, bagai gelombang api dari para senioren partai yang Jokowi, Gibran dan Bobby Nasution khianati, plus partai Gerindra dan kelompok dan para tokoh individual yang memiliki basis massa yang merasakan pernah teraniaya dan tersakiti, karena menjadi korban kebijakan politik dan penegakan hukum Jokowi yang sering menggunakan pola suka-suka, nepotisme, pembiaran, dan obstruksi serta disobidience atau pembangkangan terhadap sistim konsitusi.
Akhirnya faktor kumulasi perlawanan dan pertentangan terhadap Jokowi pribadi bakal meluluhlantakkan paket kekuasaan Jokowi dan keluarganya dari unsur-unsur domain kekuasaan yang pernah berada dalam genggaman tangannya, serta tentunya bobot pelanggaran dan tingkat kejahatan yang Jokowi lakukan bervariasi selama 10 tahun berkuasa, yang menurut asas teori hukum pidana merupakan concursus atau samenloop atau penggabungan beberapa kasus pidana yang dilakukan oleh Jokowi serta merupakan hal atau objek yang berbagai jenis delik, selain juga pada lokasi dan objek dan waktu yang berbeda, (berbagai jenis delict dan berbeda tempus dan locus delicti), sehingga ada dakwaan yang berlapis dan ada banyak dakwaan yang harus split/ terpisah atau berdiri sendiri-sendiri.
Sehingga tentu terali besi merupakan balasan hukuman teringan untuk seorang Jokowi, dan hal yang patut, andai terhadap diri Jokowi dijatuhi ancaman hukuman terberat merujuk ketentuan hukum pidana atau yang biasa disebut sebagai HUKUMAN MATI.