BANDA ACEH – Pangeran Diponegoro berhasil ditangkap di Magelang, Jawa Tengah pada 18 Maret 1830 dan oleh Belanda dibawa ke Batavia, para loyalis Pangeran Diponegoro berpencar secara massif.
Setelah Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830), kolonial Belanda tetap memantau pergerakan para pengikut dan loyalis Pangeran Diponegoro untuk meredam kebangkitan mereka yang akan kembali melakukan perlawanan.
Sejumlah sumber menyebut, di tempat baru mereka memberi penanda dengan surau atau musala kecil serta menanam pohon sawo kecik.
“Sebagian besar mantan prajurit Diponegoro memilih melakukan bedol desa, dan mengungsi ke Jawa bagian timur melalui pantai selatan,” demikian dikutip dari buku Antara Lawu dan Wilis (2021).
Di daerah baru, yakni seperti di Kabupaten Trenggalek, Kediri, Blitar dan Malang Selatan, para loyalis Diponegoro membentuk komunitas baru.
Dari bahasa atau logat, cara berkomunikasi atau bertutur yang lebih lembut, selera kuliner yang lebih manis, dan cara berproduksi, kemudian melahirkan entitas baru yang kelak dikenal dengan nama masyarakat Mataraman.
Misalnya di Malang Selatan, penduduk setempat memiliki logat khas Yogyakarta. Hal itu berbeda dengan penduduk yang mendiami wilayah Malang utara yang lebih terpengaruh bahasa Madura.
Salah satu tempat yang aman sekaligus nyaman bagi para pelarian eks kombatan Diponegoro adalah Desa Banjarsari di wilayah Madiun.
“Banjarsari menjadi salah satu tempat yang aman di Madiun bagi pelarian mantan prajurit Diponegoro karena status perdikannya menjadikan wilayah tersebut wilayah otonom. Sehingga tidak ada dalih pemerintah kolonial untuk dapat masuk ke wilayah Banjarsari”.
Kolonial Belanda yang melakukan pengawasan ketat khawatir gerakan Diponegoro akan bangkit kembali. Apalagi di desa perdikan Banjarsari terdapat empat orang haji dan ulama kharismatik, Kiai Maulani, pimpinan pesantren Banjarsari.
Kiai Maulani merupakan adik Kiai Ali Imron, yakni putra Kiai Ageng Muhammad bin Umar. Kiai Ageng Muhammad bin Umar adalah murid kinasih sekaligus menantu Kiai Ageng Muhammad Besari (1700-1773), pendiri Pondok Pesantren Gebang Tinatar Perdikan Tegalsari Ponorogo.
Belanda tahu, tidak sedikit kerabat keraton Yogyakarta dan orang-orang yang bersimpati dengan perjuangan Pangeran Diponegoro eksodus ke Desa Banjarsari.
Di Desa itu juga terdapat sejumlah makam yang dinamai warga Kusumayudan, yakni bermakna bunga perang yang disinyalir makam para prajurit Diponegoro yang gugur di medan perang.
Kolonial Belanda mencoba meredam kebangkitan loyalis Diponegoro dengan cara mencampuri urusan internal pemerintahan Desa Perdikan Banjarsari.
Kiai Maulani dibujuk untuk bersedia diangkat menjadi Bupati Kertosono (versi lain Mojokerto), namun oleh Kiai Maulani ditolak. Belanda tidak patah arang. “Belanda kembali menawarkan agar Kanjeng Kiai Maulani bersedia diangkat menjadi bupati di Maospati”.
Namun tawaran itu kembali ditolak oleh Kiai Maulani. Ia hanya mengambil gelar kanjeng, yakni gelar yang biasa dipakai bupati di Jawa masa itu. Kiai Maulani justru meminta izin meluaskan wilayah Desa Banjarsari ke arah Timur.
Perluasan yang menjadi luas wilayah perdikan Desa Banjarsari menjadi 2.000 hektar, termasuk bertambahnya Dusun Mawatsari dan Dusun Beketok. Di saat yang sama putra almarhum Kiai Ali Imron, yakni Tafsir Anom I telah tumbuh dewasa, yakni memasuki usia 31 tahun.
Belanda memanfaatkan kesempatan itu dengan membelah Desa Perdikan Banjarsari menjadi Desa Banjarsari Kulon yang dipimpin Kiai Maulani dan Desa Banjarsari Wetan dipimpin Kiai Tafsir Anom I (1799-1860) yang juga keponakan Kiai Maulani.
Pembelahan diyakini akan melemahkan kekuatan Desa Banjarsari. Belanda juga mencampuri rincian pembagian wilayah kedua desa yang akibatnya hasilnya tidak teratur dan kacau letaknya.
Sebagian wilayah Desa Banjarsari Wetan terletak di tengah wilayah Desa Banjarsari Kulon dan sebaliknya. Begitulah cara kolonial Belanda meredam para pengikut Diponegoro agar tidak bangkit lagi.