Jam menunjukkan pukul 09.00 WIB, cahaya mentari menyinari pepohonan yang rindang. Suara kicauan burung dan satwa lain terdengar jelas dari camp. Sesekali hembusan udara sejuk membuat kulit kedinginan. Berbeda dengan suhu udara di kota yang panas, berpolusi, dan dipenuhi bisingnya kendaraan, CRU Sampoiniet benar-benar memberikan kesan bahwa alam ini indah, ia memberikan ketenangan.
Jarak tempuh dari Banda Aceh ke CRU Sampoiniet memakan waktu sekitar empat jam menggunakan sepeda motor. Untuk mencapai lokasi, kita harus menuju ke Desa Ie Jeureungeh yang merupakan desa paling ujung di Sampoiniet.
Dari Desa Ie Jeureungeh, jalan mulai berbatu dan kiri kanan jalan dipenuhi semak serta perkebunan masyarakat. Jarak tempuh jalan tersebut sepanjang lima kilometer hingga sampai di lokasi.
Tanda-tanda lokasi camp sudah dekat terlihat dari keberadaan feses gajah berukuran besar di tengah dan pinggir jalan. Berbeda dengan feses hewan ternak sapi dan kerbau, feses gajah berukuran lebih besar dan terdapat banyak serat dari tanaman hasil metabolisme gajah. Hingga tiba di lokasi, terlihat bangunan semi permanen dan beberapa bangunan yang diperuntukkan untuk wisatawan.
Sejumlah wisatawan menikmati sensasi menunggangi gajah jinak sumatera di CRU Sampoiniet, Aceh Jaya, Minggu, 22/1/2023. (Mardili/Lensakita.com)Selain tempat konservasi gajah, CRU Sampoiniet juga digunakan sebagai Ekowisata alam yang dapat dinikmati oleh masyarakat lokal dan mancanegara.
Tugas CRU
Seringnya terjadi konflik antara satwa liar dan manusia membuat pemerintah Aceh seperti Dinas Kehutanan Provinsi, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Pemerintah Kabupaten di Aceh serta dibantu oleh Fauna and Flora International (FFI) Program Aceh mendirikan Conservation Respon Unit (CRU).
Pada Juli 2008, Coservation Respon Unit (CRU) resmi didirikan, dengan didatangkan empat ekor gajah jinak sumatera, mahout, ranger, dan beberapa orang masyarakat sekitar yang dilatih agar dapat membantu dalam memitigasi konflik satwa liar dan manusia.
Sempat terhenti, sehingga menyebabkan tingginya kasus konflik satwa liar dengan manusia, akibatnya masyarakat tidak bisa berkebun karena tim tidak lagi bertugas. Sehingga pada 28 Maret 2016, CRU kembali diaktifkan.
Saat ini CRU Sampoiniet memiliki tiga gajah jinak sumatera yang didatangkan dari Pusat Konservasi Gajah (PKG) Saree, Kabupaten Aceh Besar. Gajah-gajah tersebut akan dimanfaatkan jika sewaktu-waktu ada gajah liar yang masuk kawasan, gajah jinak tersebut akan membantu para petugas dan mahout untuk menghalau gajah liar.
Samsul Rijal, Leader CRU Sampoiniet mengatakan, CRU Sampoiniet bertugas dalam memitigasi konflik gajah liar di kawasan Aceh Jaya, namun tidak menutup kemungkinan jika sewaktu-waktu timnya akan diutus ke luar wilayah Aceh Jaya dalam penugasan yang memerlukan bantuan.
“CRU Sampoiniet saat ini memiliki 3 gajah sumatera jinak yang akan dimanfaatkan dalam mitigasi konflik satwa seperti penggiringan dan pengusiran gajah liar yang masuk ke pemukiman masyarakat. Wilayah kerja kita adalah Aceh Jaya, namun apabila dibutuhkan kita juga mengirim tim dan gajah jinak tersebut untuk penggiringan di beberapa wilayah yang ada di Aceh,” kata Samsul RIjal.
Provinsi Aceh memiliki tujuh CRU yaitu, CRU Sampoiniet di Kabupaten Aceh Jaya, CRU Pintoe Rime di Kabupaten Bener Meriah, CRU Woyla di Kabupaten Aceh Barat, CRU Serbajadi di Kabupaten Aceh Timur, CRU Trumon di Kabupaten Aceh Selatan, CRU Manee di Kabupaten Pidie, dan CRU Cot Girek di Kabupaten Aceh Utara.
Camp CRU Sampoiniet berada di antara hutan lindung Ulu Masen dan perkebunan masyarakat, pemilihan tempat ini dilakukan agar mempermudah tim dalam merespon konflik di wilayah Aceh Jaya. Tugas utama CRU Sampoiniet didirikan adalah untuk mengatasi konflik yang terjadi antara manusia dan satwa liar terutama Gajah Sumatera. Selain itu CRU juga berfungsi mencegah terjadinya perburuan satwa yang dilindungi.
Kawasan Ulu Masen memiliki luas 738.856 hektar yang terdiri dari lima Kabupaten yaitu Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Pidie, dan Pidie Jaya.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, keanekaragaman fauna yang dimiliki Ulu Masen kurang lebih 176 spesies mamalia, 320 spesies burung, dan 194 spesies amfibi dan reptil. Kawasan Ulu Masen memiliki kekayaan biodiversitas yang beragam, namun beberapa jenis flora dan fauna Sumatera yang berada di ekosistem Ulu Masen terancam punah.
Camp CRU Sampoiniet terletak di pinggir sungai dan hutan lindung Ulu Masen. (Dok. Junaidi Hanafiah)Tempat Riset
Selain Gajah Sumatera, satwa lain seperti burung dan primata juga sering terlihat di pepohonan sekitar kawasan CRU Sampoiniet. Hal inilah yang menambah keasrian lokasi tersebut dan menarik perhatian mahasiswa yang ada di Aceh dan di luar Aceh untuk melakukan penelitian.
“Kita akan sangat senang dengan kehadiran mahasiswa yang melakukan penelitian di CRU Sampoiniet. Kita juga akan mendukung penuh proses penelitian tersebut. Dengan begitu kita harap masyarakat sadar akan pentingnya menjaga hutan dan keberlangsungan hidup satwa yang ada di Aceh,” papar Rijal.
Keberadaan beberapa jenis burung langka seperti Rangkong dan beberapa jenis burung lainnya membuat para pemburu datang untuk menangkap dengan berbagai cara. Meski berada dalam kawasan konservasi, perburuan terhadap burung-burung yang mendiami lokasi tersebut tetap terjadi.
Baihaqi yang sering disapa Paman Boy, merupakan ranger yang bertugas di CRU Sampoiniet, ia mengatakan pernah beberapa kali mengusir pemburu burung yang membawa senjata angin berlaras panjang.
“Saat berpatroli, saya pernah beberapa kali mengusir masyarakat yang datang untuk memburu burung, saya langsung mengusir mereka karena ini kawasan konservasi,” ucap Baihaqi.
Berbeda dengan pemburu, para mahasiswa yang akan melakukan penelitian disambut dengan ramah oleh semua tim CRU Sampoiniet.
“Kita sudah beberapa kali menerima mahasiswa yang melakukan penelitian di sini, baik dari kampus yang ada di Aceh maupun luar Aceh, dan beberapa kali kita juga mendampingi mahasiswa mancanegara untuk melakukan penelitian di kawasan Ulu Masen terutama di CRU Sampoiniet,” ucap Samsul Rijal (18/1/2023).
Mahasiswa sedang melakukan penelitian burung di sekitaran CRU Sampoiniet Kabupaten Aceh Jaya, 21/01/2023. (Mardili/Lensakita.com)Zia Ulhaq mahasiswa jurusan Biologi UIN Arraniry yang sedang melakukan penelitian burung di kawasan CRU mengatakan, burung memiliki peran dalam menjaga keseimbangan alam. Seperti pengendalian hama, penyerbukan bunga, dan penebar biji.
“Dalam sebuah ekosistem, burung memiliki peran penting. Beberapa jenis burung memakan buah, biji, serangga, dan serbuk sari pada bunga. Pada gilirannya burung dan telurnya juga menjadi makanan bagi hewan lain seperti musang dan ular. Keseimbangan inilah yang perlu kita jaga,” ucap Zia.
Zia juga mengatakan agar semua pihak dapat menjaga kelesetarian burung, terutama burung Rangkong dan Srigunting yang terancam punah dan sangat sering diburu.
Berdasarkan amatan mahasiswa yang melakukan penelitian burung saat itu, ditemukan beberapa jenis burung yang dilindungi seperti Rangkong (Buceros), Alap-alap capung (Microhierax fringillarius), Takur warna-warni (Psilopogon mystacophanos), dan beberapa jenis Cekakak.
Perlindungan satwa tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106 /MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Ada sebanyak 557 jenis burung di Indonesia yang dilindungi.
Habitat Satwa
Pepohonan yang menjulang tinggi dan beberapa jenis tumbuhan berbuah di sekitaran camp CRU Sampoiniet menjadikan tempat tersebut sering dikunjungi burung untuk sekedar bertengger, mencari makan, dan membuat sarang.
“Selain gajah, kicauan burung menambah ramai suasana,” ungkap Samsul Rijal.
Hutan yang lebat dan sungai yang mengalir deras menjadikan tempat tersebut kaya akan keanekaragaman flora dan fauna. Berbagai ancaman pun kerap terjadi seperti pemburuan satwa dan penebangan hutan, sehingga petugas CRU Sampoiniet bekerja lebih ekstra dalam melindungi dan berpatroli di kawasan tersebut.
Burung srigunting bertengger di ranting pohon kawasan CRU Sampoiniet. (Mardili/Lensakita.com)Muslich Hidayat seorang dosen Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Ar-Raniry mengatakan alam menjadi habitat asli bagi satwa liar dan alam menyediakan berbagai jenis makanan untuk satwa. Apabila hutan rusak, maka satwa akan kehilangan makanan dan habitat aslinya.
“Keberlangsungan hidup satwa sangat bergantung pada hutan, apabila hutan rusak maka satwa akan kehilangan makanan dan habitat aslinya sehingga terancam punah,” ungkap Muslich Hidayat (22/01/2023).
Muslich menambahkan, kelangkaan dan kepunahan hewan dan tumbuhan disebabkan ulah tangan manusia yang marak melakukan ilegal logging dan perburuan liar.
Kedih, satwa endemik Sumatera yang berada di hutan kawasan CRU Sampoiniet. (Mardili/Lensakita.com)