BANDA ACEH – Ada empat hasil pemilihan umum (pemilu) di dunia yang pernah dibatalkan oleh pengadilan atau pun pemerintah interim karena terbukti curang.Pemilu merupakan pilar fundamental demokrasi, di mana rakyat memilih pemimpinnya secara adil dan transparan.
Namun, sejarah menunjukkan bahwa tidak semua pemilu berjalan mulus. Adakalanya, kecurangan mencoreng proses demokrasi, memaksa pembatalan hasil pemilu demi menjaga integritas dan keadilan.
4 Hasil Pemilu di Dunia yang Dibatalkan karena Curang
1. Pemilu Kenya 2017
Pemilu Kenya tahun 2017 menjadi salah satu momen paling dramatis dalam sejarah demokrasi negara tersebut.
Kemenangan presiden petahana, Uhuru Kenyatta, diwarnai dengan tuduhan kecurangan yang meluas, memicu krisis Politik dan protes besar-besaran.
Pada 8 Agustus 2017, pemilu digelar.
Pada 11 Agustus 2017, Uhuru Kenyatta diumumkan sebagai pemenang dengan meraih 54,27% suara, mengalahkan Raila Odinga yang memperoleh 44,74%.
Pada 14 Agustus 2017, Raila Odinga dan koalisi oposisi NASA mengajukan petisi ke Mahkamah Agung, menggugat hasil pemilu dan menuduh adanya kecurangan sistematis.
Pada 1 September 2017, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan yang mengejutkan, membatalkan hasil pemilu dan memerintahkan pemilihan ulang.
Pada 26 Oktober 2016, pemilihan ulang diadakan. Namun Raila Odinga memboikotnya, dengan alasan Komisi Pemilihan Umum Independen (IEBC) tidak melakukan reformasi yang cukup untuk memastikan pemilihan yang adil.
Uhuru Kenyatta kembali terpilih dengan meraih 98,2% suara, namun tingkat partisipasi pemilih hanya 38,8%.
2. Pemilu Malawi 2019
Pemilu Malawi tahun 2019 diwarnai dengan ketegangan dan kontroversi.
Hasil awal menunjukkan kemenangan presiden petahana, Peter Mutharika, dengan perolehan suara tipis atas kandidat oposisi Lazarus Chakwera.
Namun, tuduhan kecurangan yang meluas memicu protes dan kerusuhan di berbagai wilayah.
Berdasarkan bukti yang kuat, termasuk pemalsuan formulir C1, Mahkamah Agung Malawi memutuskan untuk membatalkan hasil pemilu pada Februari 2020. Keputusan ini merupakan langkah berani dan bersejarah untuk menegakkan keadilan dan demokrasi di Malawi.
Pemilihan ulang diadakan pada Mei 2020 dengan pengamanan dan transparansi yang lebih ketat. Lazarus Chakwera berhasil meraih kemenangan dan menjadi presiden baru Malawi.
3. Pemilu Bolivia 2019
Pemilu Bolivia tahun 2019 diwarnai dengan kontroversi dan akhirnya berujung pada pembatalan hasil karena kecurangan yang meluas.
Evo Morales, presiden Bolivia saat itu, mencalonkan diri untuk masa jabatan keempatnya. Hasil penghitungan awal menunjukkan bahwa dia telah memenangkan pemilihan dengan suara mayoritas, menghindari putaran kedua.
Namun, segera setelah hasil diumumkan, tuduhan kecurangan mulai bermunculan. Kelompok oposisi dan pengamat internasional mencatat berbagai kejanggalan dalam proses penghitungan suara, termasuk penghentian transmisi data penghitungan yang tiba-tiba dan manipulasi data dan formulir C1.
Tuduhan kecurangan memicu protes besar-besaran di seluruh Bolivia. Demonstrasi diwarnai dengan kerusuhan dan bentrokan antara pendukung Morales dan oposisi.
Organisasi Negara-Negara Amerika (OAS) melakukan audit atas hasil pemilu. Laporan OAS menemukan bukti manipulasi yang jelas dan pelanggaran serius dalam proses pemilu.
Di tengah tekanan dari rakyat dan komunitas internasional, Morales akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya pada 10 November 2019. Dia kemudian melarikan diri ke Meksiko.
Pemerintah interim Bolivia mengadakan pemilu baru pada tahun 2020. Luis Arce, kandidat dari partai MAS yang didirikan Morales, memenangkan pemilu.
4. Pemilu Ukraina 2004
Pemilu Ukraina tahun 2004 menjadi salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah negara tersebut.
Kemenangan kandidat pro-Rusia, Viktor Yanukovych, dalam putaran kedua diwarnai dengan tuduhan kecurangan yang meluas, memicu protes besar-besaran dan gerakan yang dikenal sebagai Revolusi Oranye.
Pada putaran pertama 31 Oktober 2004, Viktor Yanukovych dan Viktor Yushchenko (kandidat presiden pro-Barat) memimpin perolehan suara.
Pada putaran 21 November 2004, Yanukovych dinyatakan sebagai pemenang dengan selisih tipis.
Pengamat internasional menemukan bukti kecurangan yang signifikan, termasuk manipulasi suara, penyuapan pemilih, dan intimidasi.
Hal itu memicu massa turun ke jalan, menuntut pembatalan hasil pemilu dan pemilihan ulang yang adil.
Gerakan ini dikenal sebagai Revolusi Oranye karena warna bendera yang diusung oleh para demonstran.
Mahkamah Agung Ukraina membatalkan hasil putaran kedua dan memerintahkan pemilihan ulang.
Pemilu ulang digelar pada 26 Desember 2004. Viktor Yushchenko memenangkan pemilihan ulang dan menjadi presiden Ukraina.