Penulis: Irwan Saputra**
AKHIR-AKHIR ini di Indonesia ramai diberitakan pelajar hamil di luar status perkawinan yang sah. Seiring dengan itu, permohonan dispensasi perkawinan dini melejit dari tahun-tahun sebelumnya. Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019, dispensasi kawin adalah pemberian izin kawin oleh pengadilan kepada calon suami atau isteri yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan perkawinan.
Hadirnya peraturan ini untuk menyahuti permintaan maraknya permohonan perkawinan di bawah umur yang disebabkan karena banyaknya kasus hamil di luar nikah, sementara Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan hanya mengizinkan perkawinan dilakukan pada usia minimal 19 tahun baik laki-laki maupun perempuan.
Santernya perkawinan di bawah umur tentunya sangat menyita keprihatinan publik, karena perkawinan bukan hanya peristiwa hukum antara dua anak manusia yang saling mencintai melainkan juga memerlukan kesiapan mental, finansial, manajerial, dan pengetahuan tentang tanggung jawab sebagai seorang suami dan ayah bagi anak-anaknya.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Kurniasih Mufidayati, menyebutkan maraknya dispensasi pernikahan karena banyaknya kasus hamil di luar nikah merupakan fenomena gunung es yang harus mendapatkan perhatian serius.
Dilansir Kompas.com, selama 2022 di Jakarta setidaknya ada 64 anak usia di bawah 19 tahun yang yang melakukan perkawinan. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa timur merilis data yang sangat mencengangkan, terdapat 15.212 permohonan dispensasi pernikahan dengan 80 di antaranya disebabkan pemohon telah hamil.
Pengadilan Tinggi Agama Semarang Jawa Tengah juga mencatat ada 11.392 kasus dispensasi nikah di Jawa Tengah selama tahun 2022. Sebagian besar disebabkan hamil di luar nikah. Data yang sama juga didapatkan di Lampung dengan 649 kasus dan kota Bima NTB 276 kasus. Kondisi ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, atau NTB melainkan hampir merata di seluruh wilayah di Indonesia.
Sebagai masyarakat Indonesia yang masih kental dengan nilai-nilai moral dan adat istiadat ketimuran, hamil di luar nikah merupakan aib, tidak hanya bagi si anak atau si perempuan melainkan juga bagi keluarganya. Ia akan menerima sanksi sosial dari masyarakat, dan sanksi hukum terhadap status si anak yang dilahirkan di kemudian hari.
Dampak Hukum
Lalu, apa dampak hukumnya terhadap anak yang lahir di luar perkawinan yang sah?
Seseorang anak dianggap sah menurut Undang-undang (UU) Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sedangkan anak di luar status perkawinan adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan yang tidak memiliki ikatan perkawinan yang sah dengan laki-laki yang telah membenihkan anak di rahimnya. Anak tersebut tidak mempunyai kedudukan yang sempurna di mata hukum seperti anak sah pada umumnya.
Pada ketentuan Pasal 2 UU Perkawinan dijelaskan bahwa perkawinan yang sah menurut undang-undang apabila; (1) dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, (2) tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Secara a contrario pasal di atas disimpulkan bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan sesuai dengan ketentuan atau hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianut. Kemudian pada ayat berikutnya dapat disimpulkan bahwa pencatatan merupakan kewajiban administratif yang menunjukkan terjadinya perkawinan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan menjadi bukti otentik untuk melindungi hak dan kewajiban yang ditimbulkan akibat perkawinan.
Artinya, jika perkawinan tersebut tidak dicatatkan maka akan ada konsekuensi yuridis terhadap hak-hak keperdataan antara ayah dengan anak. Selain itu, akan berpengaruh terhadap kewajiban seorang ayah untuk memberi nafkah dan warisan kepada anaknya tersebut.
Kemudian, komponen antara ayat 1 dan 2 di pasal 2 UU Perkawinan di atas merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya, sehingga dalam pelaksanaanya harus memenuhi kedua unsur tersebut. Sebab, hubungan antara anak di luar perkawinan dengan ibu dan ayah biologisnya secara yuridis menurut Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya tidak dengan ayah biologisnya.