Sabtu, 16/11/2024 - 01:23 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

OPINI
OPINI

Demokrasi, Keniscayaan Hukum Berubah Sesuai Siapa yang Bertahta

Ketiga ayat di atas sangatlah jelas betapa Allah sangat tegas memerintahkan kepada setiap muslim untuk berhukum hanya pada syariat-Nya, lantas jika ada muslim yang begitu mati-matian memperjuangkan bahkan membela demokrasi padahal tahu hukum siapa yang digunakan di dalamnya bagaimana hukumnya? bukankah sama saja ia menunjukkan kesombongan dan keangkuhan di hadapan Allah?

Ibnu Abbas mengatakan, ” Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, maka ia telah melakukan perbuatan yang menyerupai perbuatan orang kafir” (Al-Jami’ li Ahkam Alqur’an, halaman 497). Sedangkan kita tahu dengan jelas pula demokrasi bukan berasal dari Islam. Demokrasi justru dijadikan alat oleh orang-orang kafir untuk melemahkan bahkan menghapus Islam dari benak kaum muslim sehingga mudah menguasai mereka berikut negeri-negerinya yang memiliki kekayaan melimpah. Kaum kafir pun tidak ingin Islam bangkit dan menguasai dunia sebagaimana sejarah sebelumnya.

Di masa kegemilangan peradaban Islam, negara hanya menggunakan hukum syariat bukan yang lain. Dimana hukum Allah ini tak rentan tipu-tipu apalagi suap menyuap. Sebab, lingkup keimanan sangat kuat mengikat hati setiap individunya, salah satunya meyakini bahwa setiap amal perbuatan di dunia ini kelak akan dimintai pertanggungjwaban di hadapan Allah kelak. Maka Daulah Islamiyyah dalam kaedah pemerintahannya bertumpu pada empat kaedah yaitu yang pertama kedaulatan (hak membuat hukum) ada di tangan syara, kedua kekuasaan ada di tangan rakyat, ketiga menetapkan hanya mengangkat satu khalifah dan keempat hak pengadopsian hukum syara.

Allah swt. berfirman yang artinya, “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasakan keberatan dalam hati mereka atas keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (TQS an-Nisa: 56).

Inilah penjelasan yang gamblang bahwa hak menetapkan hukum (legislasi) dan undang-undang yang dubutuhkan rakyat untuk mengatur kehidupan mereka hanyalah hak syara (Allah) bukan manusia. Dari sisi kepraktisan, aturan ini memangkas banyak biaya pembuatan undang-undang sebagaimana dalam praktik demokrasi hari ini. Seolah parlemen dan para anggotanya yang terhormat telah berjasa membuat aturan untuk rakyat, padahal tak jarang aturan yang dubuat hanyalah mengotak-atik hukum yang sudah jelas halal haramnya. Di cari celah supaya kapitalisme bisa bermain dan akhirnya di ujung sama-sama untung. Tentu masih ingat bagaimana sahnya undang-undang miras, KDRT, kekerasan seksual, pemakaian tutup aurat bagi siswi muslimah dan lainnya.

Pembuatan hukum di tangan syara juga menyingkat waktu dan tidak bertele-tele, sehingga fungsi negara yaitu meriayah  (mengurusi) rakyat bisa segera dilaksanakan. kegentingan bisa segera diganti dengan suasana aman. Keadilan pun bisa ditegakkan, sebab sistem hukum dan sanksi dalam Islam tidak mengenal banding, setiap perkara jika sudah cukup bukti dan saksi harus segera diselesaikan dan hukumna juga bisa segera diterapkan.Tidak sebagaimana hari ini yang selalu menunggu ratifikasi organisasi global bahkan tunduk dan patuh pada hukum asing tanpa peduli keadaan sesama muslim teraniaya dan mengalami kezaliman dalam waktu yang lama.

Islam menetapkan sumber hukum adalah Alqur’an dan as-Sunnah. Oleh karenanya dalam Islam hukum bersifat tetap dan untuk mewujudkan keadilan. Dengan Khalifah yang tegas dan bertakwa, hukum akan tegak tanpa kecuali. Setiap pemimpin berikut struktur pemerintahan di dalamnya akan selalu taat pada Allah, bukan semata sebagai petugas partai atau pesanan oligarki pewaris kekuasaan sesungguhnya dalam sistem demokrasi. Sudah saatnya kita merenungkan firman Allah yang artinya berikut ini, “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)? “.(TQS al-Maidah: 50).

Wallahualam bissawab.

1 2

Reaksi & Komentar

إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي أَن يَضْرِبَ مَثَلًا مَّا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ ۖ وَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُوا فَيَقُولُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَٰذَا مَثَلًا ۘ يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرًا ۚ وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلَّا الْفَاسِقِينَ البقرة [26] Listen
Indeed, Allah is not timid to present an example - that of a mosquito or what is smaller than it. And those who have believed know that it is the truth from their Lord. But as for those who disbelieve, they say, "What did Allah intend by this as an example?" He misleads many thereby and guides many thereby. And He misleads not except the defiantly disobedient, Al-Baqarah ( The Cow ) [26] Listen

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi