Persoalannya adalah Joko Widodo sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara dalam fungsi sistem presidensial dianggap secara moral dan fisik maupun politik bertanggung jawab atas semua hasil kinerja pemerintahan, baik secara langsung dan tidak langsung, baik secara material tangible maupun intangible.
Kritikus terkesan menggunakan asumsi mendasar bersifat pokok bahwa presiden bekerja tanpa seorang pembantu satu pun. Dianggap para Menteri Koordinator, Menteri, Wakil Menteri, Kepala Badan, Dirjen, Deputi, eselon-eselon di bawahnya hingga pejabat eselon terendah, maupun aparatur sipil negara, serta aparatur TNI Polri dalam jajaran pemerintahan eksekutif seratus persen hanya ditanggung jawab oleh Joko Widodo seorang diri di alam nyata dunia ini sebagai kesatuan kinerja pemerintahan yang serba solid tanpa fragmentasi secuil pun.
Jadi kalau ada dakwaan tentang kesalahan kebijakan dan praktek di lapangan, maka itu semua serba otomatis adalah sebagai suatu kesalahan untuk ditimpakan dan ditanggung sepenuhnya seratus persen kepada Joko Widodo pribadi.
Kenaifan penggunaan asumsi seperti ini, kiranya terkesan kuat menyebabkan kemunculan permintaan mengadili Joko Widodo di luar forum DPR MPR dan pengadilan MK selama masih menjabat, melainkan menunggu setelah masa dinas telah berakhir.
Tidak mengherankan, jika pemikiran para kritikus aktivis, kemudian terepresentasikan secara nyata dan terang-benderang pada demonstrasi-demonstrasi mahasiswa di beberapa universitas di beberapa kota. Mahasiswa yang setuju untuk mengadili Joko Widodo, karena mempunyai pemikiran kritis yang terkesan serba sama dan sebangun tersebut di atas.
Sebenarnya apa yang dialami oleh Joko Widodo kurang lebih sama dengan perlakuan pasca berakhirnya pemerintahan Presiden Soeharto, maupun sebelumnya.
Jadi bukanlah merupakan sesuatu peristiwa yang baru, baik menggunakan jalur pengadilan, atau pun menggunakan demonstrasi jalanan.
(Associate Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana)