SWEDEN – Pada peringatan hari Kartini –setiap tahun tanggal 21 April– sebuah himbauan dari seorang diaspora Aceh di Swedia telah membangkitkan perdebatan tentang kesadaran nasionalisme Aceh.
Dalam narasinya, sang orator yang identitasnya adalah Asnawi Ali, menyoroti ironi dari perayaan Hari Kartini di Aceh –sebuah negeri di ujung paling utara Pulau Sumatra. Sejatinya, perayaan hari Kartini tersebut adalah milik kebanggaan nasionalisme bangsa Jawa yang menurut sejarah dahulunya tertoreh fakta merupakan budak penjajah Belanda.
Asnawi menegaskan bahwa bila peringatan hari Kartini tersebut adalah contoh konkret dari kurangnya kesadaran nasionalisme di Aceh.
Dengan latar belakang jalan raya tol yang menghubungkan antara Stockholm dan Oslo di belakangnya, diaspora Aceh itu menyampaikan pesan kritis tentang pentingnya menyadari identitas budaya dan sejarah Aceh.
Dia menyoroti bahwa peringatan Hari Kartini seolah-olah memaksakan identitas Jawa pada bangsa Aceh dan menciptakan ketidakjelasan dalam kesadaran nasionalisme Aceh.
Tambahnya lagi, Asnawi menyarankan agar pendidikan dan kesadaran akan sejarah serta budaya Aceh harus ditingkatkan sehingga peringatan Hari Kartini seharusnya tidak dilakukan di Aceh. Pertimbangannya adalah Aceh seharusnya memperingati hari pahlawannya sendiri seperti Malahayati, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia dll.
Dia menggarisbawahi dengan mengajak kaum intelektual Aceh untuk membuka mata mereka dan menyampaikan pandangan agar kesadaran nasionalisme dapat tumbuh lebih kuat di antara generasi muda Aceh.
Bahkan dengan tegas, diaspora Aceh itu menolak peringatan Hari Kartini di Aceh dan menyerukan agar perayaan tersebut ditinggalkan dari wilayah seluruh Sumatra. Dia berpendapat bahwa Hari Kartini seharusnya diperingati besar-besaran di pulau Jawa saja–karena Kartini sendiri berasal dari sana.
Himbauan ini memicu diskusi agar orang Aceh berintrospeksi tentang identitasnya yang selama ini telah di Jawanisasikan bertahun-tahun melalui tangan besi si pa-i militeristik berbaju loreng yang mayoritas berasal dari seberang luar laut pulau Sumatra sana.
Penabalan Nama Bukit Soeharto
Sementara itu, pada topik lainnya, Asnawi membahas tentang kontroversi penabalan sebuah bukit di Aceh yang bernama “Bukit Soeharto” yang terletak di kawasan Krueng Raya Aceh Besar, lokasi wisata yang kurang lebih 30 Km di luar kota Banda Aceh.
Dengan orator tajamnya itu, Asnawi mengecam bila sebuah bukit yang ada di Aceh disematkan kepada seorang diktator, seorang yang bertanggung jawab atas genosida Bangsa Aceh saat Daerah Operasi Militer (DOM), seorang yang diduga sangat kuat sebagai koruptor dan namanya itu sangat hina di mata orang Aceh.
Penamaan nama Bukit Soeharto di Krueng Raya, Aceh Besar itu patut dicurigai siapa yang mencetuskannya. Bahkan, Asnawi mempertanyakan apakah tidak ada lagi kaum intelektual sarjana S1, S2, S3 bahkan Profesor yang berasal dari daerah di kawasan Bukit Soeharto, Lamreh, Krueng Raya, Aceh Besar itu?
Oleh karena itu, Asnawi menyarankan agar mempertimbangkan ulang penamaan tersebut dengan nama seorang Ulama atau seorang Pahlawan atau siapa saja yang layak dihormati. Bukan malah sebaliknya berjasa bagi Aceh yaitu membuat kebijaksanaan genosida melalui operasi militer sehingga melahirkan kampung janda, anak yatim serta perkuburan tak dikenal akibat pemberlakuan sistem militeristik karena selalu menyelesaikan konflik Aceh dengan kekerasan.
Terakhir, Asnawi menyerukan agar masyarakat Aceh, terutama kaum intelektual dan sarjananya, bersatu untuk mengadvokasi perubahan nama Bukit Soeharto menjadi nama yang lebih sesuai dengan identitas Aceh. Dia menekankan pentingnya untuk terus memberikan penerangan dan pendidikan kepada masyarakat, bahkan sekalipun bagi mereka yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi di jenjang universitas.[]