BANDA ACEH – Penetapan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri sebagai tersangka kasus pemmerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL), mendapat sorotan dari berbagai pihak. Akademisi hukum Prof. Dr. H Sunarno Edy Wibowo di Surabaya, meminta Presiden Jokowi menontaktfikan Firli bahuri dari jabatannya sebagai Ketua KPK.
Prof. Wibowo menambahkan, kasus Firli Bahuri yang ditetapkan sebagai tersangka, terutama sebagai seorang Ketua KPK, memerlukan kehati-hatian.
Dalam penetapan tersangka, ada prosedur yang harus diikuti, termasuk adanya laporan pengaduan, bukti yang dapat dipertanggung jawabkan, dan supervisi agar tidak ada kecerobohan dalam penegakan hukum.
“Pasca-penetapan sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi, undang-undang mengharuskan Presiden untuk segera melakukan penonaktifan terhadap pejabat yang bersangkutan. Hal ini diatur dalam undang-undang nomor 19 tahun 2019 tentang KPK,” ungkap Prof Bowo.
Dosen Hukum Universita Negeri Surabaya (Unesa) ini juga menyoroti peran Dewan Pengawas KPK yang dinilainya lamban dan terkesan kurang ‘greget’ dalam menangani kasus yang melibatkan Pimpinan KPK ini.
Meskipun ditunjuk berdasarkan keputusan Presiden dan diatur dalam undang-undang, Prof. Bowo mengingatkan agar Dewan Pengawas lebih responsif dalam menyampaikan rekomendasi terkait kasus-kasus yang melibatkan komisioner KPK. “Dewan Pengawas memiliki peran penting untuk menjaga integritas KPK.
Penting bagi mereka untuk memberikan rekomendasi dengan cepat, terutama saat ada penetapan tersangka, agar tidak terjadi hambatan dalam proses penyidikan,” tegas Prof Bowo, yang juga sebagai Guru Besar Hukum di Asean University Internasional, Malaysia ini.
Masyarakat pun diharapkan memberikan penilaian yang objektif terhadap peran Dewan Pengawas dalam menjaga kredibilitas lembaga antikorupsi tersebut.
Menurutnya, Kasus Firli Bahuri menjadi ujian bagi semua pihak, dan penting untuk memastikan bahwa proses hukum berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Dalam gelar rapat penetapan tersangka, kata Bowo, pentingnya supervisi dan kehati-hatian agar tidak ada kecerobohan dalam penegakan hukum.
Undang-undang 19 tahun 2019 tentang pidana korupsi jelas menyatakan bahwa setelah penetapan tersangka, Firli harus dinonaktifkan, yang dilakukan oleh Presiden berdasarkan rekomendasi dari Dewas KPK.
Ancaman hukuman yang dihadapi Firli Bahuri dalam kasus korupsi, menurut Prof Bowo cukup serius. “Pemerasan dan korupsi memiliki hukuman minimal 4 tahun hingga maksimal 20 tahun atau seumur hidup.
Dalam kasus ini, sebagai pejabat publik, Firli Bahuri bisa dikenakan hukuman maksimal seumur hidup,” tukasnya.
“Penegakan hukum harus tetap berjalan tanpa pandang bulu, bahkan jika melibatkan pejabat tinggi negara. Proses hukum dapat berjalan dengan transparan dan adil demi menjaga integritas lembaga penegak hukum di Indonesia,” pungkas Prof Bowo.