“Tanah (anggota) KPA saja (seluas) dua hektare (untuk) 3.000-6.000 anggota saja belum jelas sampai hari ini,” kata Wakil Ketua KPA, Abu Razak.
Padahal, menurut Abu Razak, tanah di Aceh masih sangat luas untuk diberikan kepada mantan kombatan GAM seperti nota damai yang disepakati di Helsinki. Dia bahkan terdengar kesal lantaran pemberian lahan kepada mantan kombatan kerap kali dibenturkan dengan isu-isu lingkungan. “Kalau untuk transmigrasi, 15 hari sudah diberikan,” kata Abu Razak.
Dia berharap pemerintah tidak sibuk melakukan revisi UUPA, yang menurutnya, apa yang sudah dilahirkan sebagai produk hukum di Pusat bahkan tidak mampu dijalankan di lapangan.Pun demikian, Abu Razak sepakat jika memang revisi UUPA dilakukan, maka wajib melibatkan seluruh elemen rakyat Aceh.
“Poin apa saja yang direvisi? Apa saja yang direvisi? Jangan sampai nggak sanggup kita kontrol. Jadi saya harap seluruh elemen sipil di Aceh satu suara dalam hal ini, kalau memang kita (rakyat Aceh) sudah sepakat, kami (KPA) ada bersama kalian,” kata Abu Razak.
Di sisi lain, rasa optimis justru disampaikan oleh Koordinator Masyarakat Pengawal Otsus (MPO), Syakya Meirizal. Dia berharap rakyat Aceh tidak menganggap semua pihak yang ada di Pusat sebagai “hantu”. Dia tidak menyanggah bahwa pelaksanaan UUPA sampai saat ini belum maksimal. “Banyak yang belum diimplementasikan, benar,” kata Syakya.
“Kekhawatiran itu penting, tetapi jangan sampai kekhawatiran itu menguasai segala lini. Kita harus membaca potensi kita,” kata Syakya lagi.
Menurutnya semangat melakukan revisi terhadap UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh harus berangkat dari banyaknya permasalahan dengan eksistensi UUPA selama ini. Selain itu, revisi UUPA juga dapat memudahkan bagi Aceh untuk memasukkan klausul-klausul MoU Helsinki yang belum masuk dalam UU RI Nomor 11 tahun 2006 tersebut.
“Yang konteksnya revisi UUPA adalah penguatan,” kata Syakya. “Jika Jakarta berniat mau melemahkan (UUPA), maka mau tidak mau ya dilawan, spirit keacehan itu harus kita bangun,” lanjut Syakya.
Dia sepakat jika Aceh satu suara dalam melakukan revisi UUPA. Namun dia berharap tidak ada yang mundur setelah revisi tersebut diakomodir oleh Jakarta nantinya. “Sekali layar berkembang, pantang kita mundur,” kata Syakya.
Dalam diskusi tersebut, Wakil Ketua DPR Aceh, Hendra Budian, sepakat dengan kekhawatiran yang disampaikan KPA dan beberapa elemen sipil lainnya. Dia mengatakan ini merupakan momentum membangun kembali spirit keacehan.
“Kami di DPR Aceh yang kami butuhkan adalah semacam legitimasi politik keacehan dalam menjalankan revisi UUPA ini,” kata Hendra Budian.
Hendra Budian mengatakan sebagai anggota DPR Aceh kembali merasa percaya diri dengan wacana revisi UUPA tersebut setelah adanya kesepakatan bersama yang dibangun tersebut. Namun dia menekankan tidak semua generasi muda di Aceh memahami tentang sejarah Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, peristiwa KKA dan sejarah konflik di Aceh. Inilah yang menurutnya penting melakukan politik keacehan kepada mahasiswa di Aceh.
“Itu kepentingan politik kita di Aceh. Bagi kami di DPR Aceh, dukungan dan konsolidasi politik keacehan menjadi amunisi tempur dalam berhadapan dengan pemerintah Pusat,” pungkas Hendra Budian.[]