BANDA ACEH – Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) meminta pada Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN untuk tidak melanjutkan semua proses perizinan Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan di Aceh.
Baca juga: Percepat Pemulihan Korban Pelanggaran HAM di Aceh, ARD Gelar Diskusi Publik
Dimana termasuk juga perpanjangan HGU PT Perkebunan Nusantara I (PTPN I) sampai selesainya polemik regulasi tentang Pertanahan Aceh, termasuk Qanun Aceh tentang Pertanahan Aceh.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Badan Legislasi (Banleg) Mawardi SE, dalam rapat koordinasi perpanjangan HGU PT Perkebunan Nusantara I.
Baca juga: Doddy Zulverdi Apresiasi Gerai ZISWAF DD Waspada Hadir di BI Sumut
Turut hadir dalam rapat tersebut pimpinan DPRA, pimpinan Komisi I, II dan III DPRA, Pansus Perizinan, Migas, Minerba dan Energi Aceh, dan pihak BPN Kanwil Aceh, Distanbun Aceh, Dinas Peternakan, Biro Pemerintah dan Biro Hukum Setda Aceh.
Mawardi yang karib disapa Tgk Adek, menjelaskan bahwa semua perizinan HGU perlu dievaluasi, selain banyak masalah seperti status tanah yang masuk dalam wilayah perkampungan dan tanah adat, juga selama ini tidak menguntungkan keuangan Aceh maupun kabupaten/kota.
Baca juga: Sebanyak 2.153 Peserta SNBP Lulus di USK
“Dalam UU Agraria juga mengatur setiap perpanjangan HGU apabila sudah terbentuk perkampungan, sudah ada fasilitas umum dan ditempati masyarakat maka wajib dikeluarkan ketika perpanjangan HGU seperti di PTPN I Cot Girek,” kata Tgk Adek, Rabu (29/3/2023).
Selanjutnya, Tgk Adek meminta disesuaikan dengan regulasi yang lebih relevan, semestinya pemerintah melakukan pelimpahan kewenangan yang diikutsertakan dengan pelimpahan perangkat sehingga menjadi BPA.
”Pemerintah Aceh memiliki wewenang untuk mengatur segala pertanahan di wilayahnya sebagaimana diatur dalam UU No.11/2006. Namun, polemik regulasi atas pertanahan ini memang belum selesai, maka wajih kita selesaikan,” ungkapnya.
Dalam pertemuan tersebut, direkomendasikan juga agar Pemerintah Aceh membentuk tim kajian terkait permasalahan Hak Guna Lahan Usaha (HGU) dan berkoordinasi dengan Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Aceh.
Oleh karena itu, pihaknya meminta komitmen Menteri ATR/BPN wajib menggutamakan UU No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh terkait Perizinan Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan di Aceh.
“Begitu pula atas ketentuan pengelolaan Sumber Daya Alam Aceh lainnya, Menteri ESDM, Menteri investasi dan BKPM juga demikian atas izin pertambangan dan Migas,” tegas Tgk Adek.
Politikus Partai Aceh (PA) ini menuturkan, bahwa Ketua DPRA Saiful Bahri, sesaat setelah selesai rapat koordinasi tersebut, langsung memerintahkan pada sekretaris dewan untuk menyiapkan surat resmi untuk disampaikan langsung kepada bapak Presiden Republik Indonesia, Menteri ATR/BPN, Menteri Dalam Negeri, dan Kepala Kanwil BPN Aceh.
“Isi surat tersebut merupakan rekomendasi DPRA terkait status perizinan HGU perkebunan di Aceh,” katanya.
Selain itu, Ketua DPRA Saiful Bahri, menyampaikan apresiasi kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas komitmennya dalam menjalankan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
“Karena UU inilah yang mempertemukan kepentingan politik para pihak, RI dan GAM dalam membangun masa depan Aceh,” ucap Saiful Bahri.
“Saya dan bersama pimpinan dan anggota DPRA lainnya, terus berupaya agar efektifitas pelaksanaan UU No.11/2006 dapat kita wujudkan kedepan,” katanya lagi.
Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik, Nasrul Zaman, sangat mendukung sikap dan kebijakan yang dikeluarkan oleh legislatif Tanah Rencong.
Menurut Nasrul, jika berbicara demi kepentingan kesejahteraan dan kemaslahatan seluruh rakyat Aceh, maka kebijakan tersebut harus didukung oleh semua pihak.
“Berbicara kepentingan rakyat Aceh maka bukan HGU yang bermasalah yang dihentikan atau bahkan dicabut, tapi HGU-HGU yang ada sampai masanya itu harus dihentikan proses HGU-nya sudah cukup,” ujar Nasrul saat dikonfirmasi Lensakita.com, Rabu (29/3/2023).
Ia menjelaskan, jika masih ada pengusul perpanjangan HGU kepada pemerintah kabupaten/kota maupun provinsi, maka pemerintah tersebut diminta untuk tidak menindaklanjuti permintaan itu.
“Jadi pengusul HGU itu memperpanjang sudah dihentikan saja proses perpanjangannya. Kemudian HGU yang ada itu dibagi ke masyarakat. Kalau itu pemerintah berpihak kepada masyarakat. Beda kalau pemerintah berpihak pada oligarki,” jelasnya.
Akademisi Universitas Muhammadiyah (Unmuha) ini, menyebutkan bahwa dukungan tersebut diberikan tidak hanya menghentikan HGU yang bermasalah. Namun juga semua HGU yang pernah dikeluarkan atau direkomendasi oleh pemerintah.
Sebab, kata Nasrul, tidak pantas kemudian HGU tersebut pemiliknya tidak tingal atau berdomisili di Provinsi Aceh dan memegang hak kuasa puluhan hektar tanah di Aceh.
“Itu ada keistimewaan sendiri dengan UUPA, saya pikir kita mendukung itu dan malah bisa diperluas kebijakan itu,” ungkapnya.
Nasrul mengatakan, proses penerbitan HGU itu dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Dimana pemerintah kabupaten/kota dan Pemerintah Aceh merekomendasikan perpanjangan HGU kepada pemerintah pusat.
“HGU itu dikeluarkan oleh pemerintah pusat atas rekomendasi Pemerintah Aceh. Jadi jangan lagi direkomendasikan oleh Pemerintah Aceh. Sehingga kita bisa bagi tanah HGU itu ke rakyat,” pungkasnya.[]