PALEMBANG – Ahli Hukum Administrasi Negara (HAN) dan Hukum Energi Dr. Mailinda Eka Yuniza, SH. LLM memberikan kesaksian sebagai Saksi Ahli dalam persidangan lanjutan kasus PDPDE Gas di Pengadilan Tipikor Palembang, Selasa (17/5/2022).
Dalam penjelasannya, Ahli yang merupakan dosen pada Universitas Gajah Mada ini menerangkan mengenai “Titik Serah” gas, sebagaimana kesepakatakan antara JOB Jambi Merang (Penjual) dan PDPDE Sumsel (Pembeli), maka hak negara atas gas yang menjadi objek jual–beli berakhir sudah berakhir. “Setelah melalui Titik Serah gas tersebut sudah bukan merupakan asset atau hak eklusif milik negara. Pengelolaan dan pemanfaatannya tidak lagi menjadi tanggung jawab negara melainkan diserahkan kepada pembeli. Ini sudah menjadi gas komersial,” jelas Malinda.
Penjelasan Ahli Hukum Administrasi Negara dan Hukum Energi ini telah memberikan pengertian yang terang benderang kepada majelis hakim Tipikor PN Palembang mengenai batasan hak negara atas gas tersebut.
Selanjutnya, Dr Mailinda menjelaskan: Berdasarkan Pasal 6 Undang–Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi kepemilikan pemerintah terhadap migas adalah sampai titik serah (titik penjualan).
Hal ini, menurut Mailnda, juga dipertegas dalam Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Hulu Migas, yang dalam Pasal 24 yang menyatakan bahwa kepemilikan pemerintah atau negara terhadap migas adalah sampai titik serah.
”Dalam Pasal 55 lebih tegas lagi mengatur, bahwa pembagian hasil antara pemerintah dan kontraktor terjadi di titik serah. Dan dalam Pasal 100 juga dijelaskan, jika terjadi Perjanjian Jual Beli Gas, maka terjadi pemindahan kepemilikan migas bagian negara kepada pembeli,” imbuhnya.
Penjelasan Dr. Mailinda dalam sidang ini “meluruskan” keleliruan pemahaman Jaksa yang menganggap bahwa gas yang dikerjasamakan pengelolaan dan pemanfaatannya oleh PDPDE Sumsel dan DKLN masih merupakan gas negara, atau asset negara yang merupakan hak eklusif negara.
Melanjutkan penjelasannya, Ahli tersebut juga menjelaskan, negara tidak lagi memiliki hak atas gas yang telah melalui “Titik Serah” tersebut untuk mengatur pola kerjasama atas pengeolaan dan pemanfaatannya termasuk mengatur berapa bagian untuk PDPDE Sumsel dan berapa bagian milik DKLN. “Mekanime kerjasama sepenuhnya diserahkan pada para pihak (business to business),” tegasnya.
” Mailinda yang banyak meneliti ini juga menjelaskan bahwa tidak ada aturan khusus yang mengatur berapa jumlah yang harus didapatkan perusahaan daerah (PDPDE Sumsel) dan berapa bagian yang didapatkan pihak swasta (DKLN) jadi murni dapat disepakati oleh para pihak. “Hukum tidak mengatur secara khusus tentang berapa jumlah fee yang diterima para pihak, tidak ada yang boleh melarang, karena kesepakatan bersama secara perdata yang dilindungi oleh hukum Indonesia,” imbuhnya.
Menanggapi pertanyaan dari Ifdhal Kasim SH LLM, Kuasa Hukum Ahmad Yaniarsyah Hasan, salah satu terdakwa dalam perkara PDPDE Gas, Mailinda menyatakan bahwa: “Mengingat pihak swasta juga dapat ditunjuk sebagai Pembeli, bukan hanya BUMD atau BUMN, dan ada syarat-syarat lain yang harus dipenuhi untuk dapat ditunjuk sebagai Pembeli gas tersebut sehingga penjunjukan BUMD atau BUMN tersebut hal biasa saja dalam bisnis, tidak bersifat eklusif,” terangnya.
Lebih lanjut, Mailinda menerangkan, tidak semua pihak termasuk BUMN atau BUMD bias menjadi pembeli gas, karena ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi, pertama, adanya konsumen atau pasar (market) yang sudah tersedia; harus ada pengalaman (experience); Harus ada kemampuan finansial yang dapat memberikan jaminan pada penjual gas komersial untuk industri tersebut; dan harus ada kemampuan untuk melakukan investasi untuk pembangunan infrastrukturnya, untuk dapat menyalurkan gas ke pengguna akhir (industri)”.
Menanggapi pertanyaan, Jaksa Penuntut Umum mengenai perangkapan jabatan oleh direksi BUMD, Dr. Mailinda mengatakan, perangkapan jabatan oleh direksi BUMD boleh dilakukan sepanjang ada izin dari Kepala Daerah atau Pemegang Saham. “Itu boleh, asal sesuai prosedur,” ujarnya.