BANDA ACEH – Pengamat kepolisian Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto angkat bicara soal dua polisi yang diberhentikan tidak dengan hormat (PTDH) karena menjilat kue di HUT TNI ke-77.
Menurutnya, jika banding kedua oknum polisi atas putusan awal sidang etik Polda Papua Barat itu ditolak akan sangat berlebihan.
Bambang membandingkan kasus tersebut dengan anggota polisi yang melakukan obstruction of justice dalam kasus pembunuhan Brigadir J. Hingga saat ini, kata dia, masih ada yang belum diputus sidang etiknya.
“Kalau sampai sidang banding menolak keberatan mereka, itu pun berlebihan. Kesalahan mereka tidak seberat pelaku obstruction of justice (kasus Ferdy Sambo) yang beberapa diantaranya belum disidang sampai sekarang,” kata Bambang, Sabtu (8/10).
Dipecatnya dua oknum polisi karena menjilat kue di HUT TNI, menurut Bambang, hanya dianggap putusan keliru dan terkesan sebagai bentuk pencitraan kepolisian.
“Karena tidak sebanding dengan kesalahan itu tadi,” ucap Bambang.
“Meskipun mereka masih punya hak banding, dan keputusan banding bisa saja memperingani mereka. Makanya keputusan sidang etik awal itu malah over,” tambahnya.
Bambang mengatakan, hal tersebut semakin memperlihatkan hukuman atau sanksi di internal kepolisian tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Pasalnya, kedua oknum polisi itu dipecat tiga hari setelah peristiwa terjadi hingga proses sidang etik yang cukup cepat.
“Sanksi yang diberikan sidang etik yang diterapkan terlalu berat untuk kesalahan etik ringan,” ungkap Bambang.
“Publik juga bisa membandingkan dengan sidang etik untuk kasus OOJ dalam kasus Sambo, misalnya Brigjen HK sampai sekarang belum juga disidang,” imbuhnya