HARIANACEH.co.id|Aceh Tamiang – Wahana Lingkungan Independen (Wali) mendesak Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Aceh Tamiang harus bersikap tegas terhadap empat perusahaan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang membandel belum memasang sparing.
“Pasalnya, setelah aturan pemasangan Sparing itu dikeluarkan sejak 2019, minimal 2 tahun setelah dikeluarkannya aturan tersebut perusahaan wajib memasang alat sparing,” kata Direktur Eksekutif Wali, Ajie Lingga, SH yang dikonfirmasi media, Kamis (25/4/2024).
Ajie menjelaskan dari belasan perusahaan PKS yang beroperasi di Aceh Tamiang, enam perusahaan diantaranya yakni PTPN 1 Tanjung Seumentok, PTPN 1 Pulau Tiga dan PT. Sisirau, PT. Socfindo Indonesia, PT. Patisari dan PT. Mora Niaga Jaya sudah memasang sparing.
“Setelah Dinas Lingkungan Hidup (DLH) setempat menyurati sejumlah perusahaan PKS pada tanggal 16 Febuari 2023 lalu untuk memasang sparing, ada beberapa beberapa perusahaan PKS yang langsung menindaklanjuti dengan langsung memasang sparing. Tapi ada empat perusahaan PKS yang terkesan agak membandel dan sampai saat ini belum pasang sparing. Keempat perusahaan tersebut yakni PT. Tri Agro Palma Tamiang, PT Bumi Tamiang Sentosa, PT. Parasawita dan PKS Mini Selaxa Windu,” ungkap Aji Lingga.
Ketua LBH Ansor Aceh Tamiang ini menambahkan aturan pemasangan Sparing itu dikeluarkan sejak tahun 2019 dan minimal dua tahun setelah dikeluarkannya aturan tersebut perusahaan wajib memasang alat sparing.
“Kewajiban pemasangan Sparing juga diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) RI No.80/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2019, tentang Perubahan atas Peraturan Menteri LHK No.P.93/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2018 tentang pemantauan kualitas air limbah secara terus-menerus dan dalam jaringan bagi usaha dan atau kegiatan,” ujarnya.
Ajie Lingga mengatakan, jika perusahaan PKS tidak memasang alat Sparing tersebut setelah ditegur, maka Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten setempat harus menyurati dan meminta perusahaan untuk menghentikan produksi pengelolaan minyak sawitnya.
“Jika sudah diingatkan dan diberikan teguran satu sampai tiga kali tidak diindahkan, proses penegakan hukumnya harus dilaksanakan, yakni produksi sawit perusahaan harus dihentikan,” ujarnya.
Apabila tidak dipasang sparing, maka limbah hasil produksi pengelolaan minyak kelapa sawit itu terus mengalir sungai. Hal tersebut akan mengancam kesehatan masyarakat.
“Dan perusahaan jangan hanya memikirkan hasil produksinya saja tapi tidak memikirkan kesehatan lingkungan sekitar masyarakat, dengan beralasan harga alat sparing mahal, itu sudah menjadi risiko perusahaan,” ujar Ajie. []