Fenomena Bunuh Diri

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ilustrasi Bunuh Diri. FOTO/Shutterstock

SAYA terkesima mendapati ramainya berita bunuh diri di berbagai media. Situs goriau.com yang tayang pada tanggal 23 Maret 2023 mengabarkan seorang anak di Kapuas Hulu Kalimantan Barat menemukan ayahnya yang tewas  gantung diri di rumahnya setelah bangun untuk makan sahur. Di RSUD Daya Makassar, seorang pasien tewas usai melompat dari lantai 4 tempatnya dirawat.

Di Jogja, seorang Ibu Rumat Tangga (IRT) melompat dari jembatan setinggi 13 meter  di Kali Kuning Depok Sleman. Di Samosir Sumatera Utara, Bripka AF bunuh diri diduga dengan meminum sianida. Di Kanada, Remaja menembak ibunya dan membunuh polisi sebelum kemudian bunuh diri. Padahal beberapa hari silam belum lekang dari ingatan kita kasus bunuh diri mahasiswi UI yang melompat dari lantai 18 apartemen kawasan Kebayoran Baru Jakarta Selatan.

ADVERTISEMENTS

Bunuh diri telah menjadi fenomena yang tumbuh kian subur di tengah beratnya kehidupan yang dijalani saat ini sehingga menjadi persoalan serius di berbagai negara. Menandai hal tersebut sejak tahun 2003 World Health Organization (WHO) bersama International Association for Suicide Prevention (IASP) telah mencanangkan bulan pencegahan bunuh diri dengan memperingati World Suicide Prevention Day atau Hari Pencegahan Bunuh diri yang diperingati pada setiap tanggal 10 September.

ADVERTISEMENTS

Menilik data World Population Review pada 2019, terdapat 5 negara dengan rasio bunuh diri tertinggi di dunia, secara berurut di isi oleh negara Lesotho (72,4), Guyana (40,3), Eswatini (29,4), Korea Selatan (28,6) dan Karibati (28,3).

ADVERTISEMENTS

Selain itu, WHO mengatakan bunuh diri adalah penyebab kematian terbesar keempat di antara orang-orang berusia 15-29 tahun di seluruh dunia pada 2019, sebagaimana data yang saya kutip dari bbcindonesia.com yang tayang pada 25 Januari 2023. Sementara Laman goodstats.id pada 26 September 2022 menyampaikan pernyataan WHO bahwa depresi mengisi peringkat 4 sebagai penyakit mematikan di dunia, dan diprediksikan akan menjadi masalah gangguan kesehatan yang utama di dunia.

ADVERTISEMENTS

Penyebab Bunuh Diri

Para ahli menyatakan penyebab bunuh diri sangat kompleks, bukan hanya karena masalah kesehatan pribadi dan mental, tetapi juga terkait dengan faktor ekonomi dan tekanan sosial. Kemiskinan ekstrem menjadi penyebab utama tingginya angka bunuh diri di negara-negara pada  benua Afrika. Fakta tersebut juga terlihat dari laporan tentang sejumlah artis dan influencer Korea Selatan yang biasa mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Jika pun tidak bunuh diri, nyaris sepertiga penduduk Korea Selatan berisiko mati kesepian (cnbcindonesia.com pada 31/8/2022).

ADVERTISEMENTS

Terkait hal ini, Kementerian Kesehatan mengatakan perilaku bunuh diri (ide, rencana dan tindakan bunuh diri) dikaitkan dengan berbagai gangguan jiwa lainnya, seperti depresi. Ketika seseorang mengalami depresi maka tentu akan mengubah berbagai hal baik dari gangguan pola makan, perilaku sosial bahkan jadwal tidur pun menjadi tidak teratur. Pada stadium yang lebih berat, depresi dapat menyebabkan frustasi hingga berpikir untuk menyakiti diri bahkan membunuh dirinya sendiri.

ADVERTISEMENTS

Terdapat banyak teori yang membahas tentang bunuh diri, diantaranya yang terbaik adalah apa yang disimpulkan oleh Durkheim. Durkheim melakukan riset sosial yang didirikan di atas dasar-dasar teoritis yang jelas. Pada awalnya, bunuh diri tampak sebagai tindakan pribadi yang dapat dijelaskan menggunakan istilah-istilah psikologi. Namun Durkheim menemukan bahwa angka bunuh diri berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Bahkan angka bunuh diri ini bisa berbeda dalam satu masyarakat seiring dengan perubahan waktu.

Menurut Durkheim, bunuh diri tergolong dalam fenomena sosial yang hanya dapat diurai melalui faktor-faktor sosial yang melatarbelakanginya. Ini berarti faktor-faktor pokok yang menyebabkan bunuh diri tidak bersumber dari kejiwaan seseorang atau kondisi alam yang melingkupinya, tapi lebih merupakan hasil dari perbedaan-perbedaan dalam struktur masyarakat dan tingkat solidaritas masyarakat. Durkheim merumuskan bahwa jika ikatan agama, keluarga, dan politik menguat maka angka bunuh diri akan menjadi kecil. Namun jika semua itu melemah, maka angka bunuh diri akan menjadi besar (Sulaiman al Husin, 2005).

Jika kita perhatikan dengan seksama, melalui penerapan sistem Kapitalisme saat ini, kiranya fenomena bunuh diri terus tumbuh dari waktu ke waktu. Pada prinsibnya Kapitalisme ini adalah sebuah sistem kehidupan yang tidak memberi ruang  bagi agama untuk mengikat masyarakat dalam sebuah pengaturan kehidupan. Hal ini karena Kapitalisme tegak di atas asas sekulerisme yang memisahkan antara agama dengan kehidupan. Wajar kiranya jika jiwa-jiwa manusia yang hidup di dalamnya menjadi kering hingga mudah putus asa dan menyerah pada keadaan.

Selain itu, Kapitalisme adalah cara pandang yang menempatkan kebebasan sebagai sarana untuk mencapai tujuan kehidupan yaitu meraih materi sebanyak-banyaknya untuk memperoleh kebahagiaan jasadiyah. Dengan prinsip kebebasan itu mereka beranggapan kehidupan ini mutlak milik manusia sehingga manusia bebas untuk memilih menikmati hidup atau mengakhirinya dengan bunuh diri. Parahnya prinsip ini membentuk pemahaman bahwa bunuh diri ini juga bagian dari hak asasi mereka.

Kapitalisme juga melumpuhkan sendi-sendi ikatan keluarga karena menerapkan prinsip-prinsip kesetaraan gender. Kapitalisme sebagai sistem kehidupan materialistik memaksa setiap perempuan bersaing dengan laki-laki dalam dunia pekerjaan. Perempuan dihargai ketika ikut menyumbang kontribusi bagi perekonomian nasional. Ketika perempuan menyerbu dunia kerja pada saat yang sama lunturlah fitrah keibuannya.

Sedangkan para lelaki telah kehilangan peran strategisnya sebagai qawwam (penanggungjawab).  Para orang tua kehilangan perannya sebagai pembentuk peradaban, angka perceraian meningkat karena ikatan diantara anggota keluarga menjadi rapuh. Anak-anak tumbuh tidak terkendali. Kapitalisme memasung mereka dalam kesepian sehingga pada akhirnya segala upaya yang mereka lakukan untuk mengejar kebahagiaan berakhir menjadi siksaan.

Dari sisi politik, negara Kapitalisme gagal mengidentifikasi akar permasalahan dari fenomena bunuh diri, bahkan penerapan kebijakan-kebijakan negara yang bercorak invidualistik semakin menumbuhsuburkan fenomena ini. Kendati negara telah secara luas membuka saluran-saluran tehnologi untuk mendeteksi dini upaya bunuh diri.

Demikianlah persolan bunuh diri yang tadinya dipandang sebagai persoalan klasik, kenyataannya menjelma menjadi permasalahan global. Jika dikembalikan pada teori Durkheim, maka penyebab membengkaknya statistik bunuh diri global telah terjawab. Tidak aneh jika angka bunuh diri di negara-negara maju sangat tinggi demikian juga angka bunuh diri di Afrika, semua disebabkan oleh penjajahan kapitalisme dan keserakahannya dalam mengekspolitasi bangsa-bangsa.

Bunuh Diri di Negeri Muslim

Terdapat fakta bahwa justru di negara-negara Muslim angka bunuh diri ini jumlahnya sangat rendah (Wu, Chen, & Yip, 2012). Hal ini terjadi karena Muslim memiliki keterikatan penuh terhadap agamanya.  Islam sebagai sebuah sistem kehidupan bukan hanya sebagai agama yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Islam memiliki sistem yang khas baik terkait sistem perekonomiannya, sistem pendidikan maupun sistem sosial kemasyarakatan. Hubungan kekeluargaan dalam Islam sangat kuat, sehingga kepedulian di dalam keluarga bahkan dalam komunitas kemasyarakatan sangat besar. Persaudaraan Islam telah menjadi kekuatan bagi komunitas ini.

Namun seiring infiltrasi Kapitalisme ke dalam masyarakat Muslim, melalui penerapan Kapitalisme oleh negara, perlahan terjadi pergeseran dalam pandangan kehidupan. Muslim mulai mengambil pandangan-pandangan hidup Kapitalisme sehingga permasalahan-permasalahan klasik Kapitalisme mulai menyerang masyarakat Muslim, termasuk fenomena bunuh diri ini. Muslim penganut Kapitalisme merenggangkan ikatan dirinya dengan Allah, mengabaikan hak-hak Allah dan membelakangi syariah Allah.

Kapitalisme demi hegemoni politiknya untuk membendung kebangkitan Islam sebagai ideologi tandingan, telah menderaskan sistem pendidikan Islam di negara-negara Muslim dengan corak moderasi Agama. Cara pandang moderasi agama ini menjadikan seorang Muslim memandang Islam bukan lagi sebagaimana ajaran Rasulullah SAW, yaitu berislam secara penuh (kaffah).

Moderasi menghendaki Muslim menata agamanya sesuai dengan arahan Kapitalisme (Barat). Jadi Muslim memandang akidahnya sebagaimana seorang Kristen, atau Katolik di Barat memandang agama mereka. Bahwa tidak ada kebenaran mutlak, bahwa semua agama benar, semua agama sama. Sehingga pada akhirnya, mereka yang beragama atau tidak tidak beragama sama sekali, sama saja tidak ada bedanya.

Padahal pendidikan sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter generasi. Pendidikan pula yang melahirkan generasi tangguh. Namun, kini persoalan ini semakin rumit, karena sekulerisme pendidikan hanya fakus pada pemberdayaan dan peningkatan peran generasi muda pada perekonomian. Di Indonesia kita mengenalnya dengan kurikulum merdeka, kampus merdeka atau merdeka belajar.

Apa yang terjadi kemudian? Liberalisme pemikiran ini menyumbang kerusakan termasuk menumbuhsuburkan angka bunuh diri di dunia Islam. Arab Saudi misalnya, di bawah arus liberalisasi yang merambah ke berbagai sendi kehidupan, muncul fenomena kerusakan dalam masyarakat, diantaranya bunuh diri. Menurut statistik yang diterbitkan Harian as-Syarq al-Awsath, edisi ke-9083, 11/10/2003, bahwa kasus bunuh diri di Saudi terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2001, Riyadh menduduki peringkat pertama dengan 108 kasus. Lalu Syarqiah 94 kasus, Mekah 93 kasus, Tabuk 23 kasus, Asir 22 kasus, Madinah 20 kasus, Qushaim 19 kasus, Jauf 16 kasus, Najran 14 kasus, Jazan 9 kasus, perbatasan utara 8 kasus, dan Bahah 7 kasus (Sulaiman al Husin, 2005).

Laporan dari International Journal of Public Health menyebut pada 2015 tercata 30 ribu orang melakukan bunuh diri di Timur Tengah yang berlangsung di 22 negara. Negara-negara dimaksud antara lain Afghanistan, Iran, Arab Saudi, Pakistan, Somalia, Sudan, Suriah dan uni Emirat Arab. Dalam 25 tahun terakhir, tren ini terus meningkat.

Di Indonesia, kita mengenal istilah `Generasi Strawberry’ untuk menyebut generasi yang lahir setelah tahun 1981 (post-80) dan mengalami kesulitan dalam menghadapi tekanan kehidupan. Fenomena ini terjadi karena Indonesia juga menerapkan Kapitalisme, sehingga wajar jika prevalensi bunuh diri di Indonesia cukup signifikan. Sekali lagi, teori Durkheim menjawab bahwa fenomena bunuh diri berkaitan langsung dengan tatanan sosial masyarakat.

Solusi Islam

Apabila dikaitkan dengan teori Durkeim, dalam hal ini Islam telah terbukti berhasil mengatasi fenomena bunuh diri karena selama peradaban Islam berlangsung lebih dari 13 abad fenomena tersebut tidak tampak sama sekali. Pemerintahan Khilafah Islam  telah menampilkan sisi gemilang sebuah peradaban dengan keberhasilannya dalam melahirkan generasi tangguh. Hal ini karena Islam bukan semata-mata agama, namun sebagai sebuah akidah yang melahirkan aturan (ideologi).

Akidah memuat aturan komprehensif mengenai bagaimana kehidupan harus dijalankan, bahwa pertanggungjawaban bukan hanya disini, di dunia saja namun hingga ke hari pembalasan. Keterikatan pada akidah memberikan pengaruh yang kuat untuk kehidupan, kepribadian dan perilaku seseorang. Islam sebagai ideologi memiliki kesempurnaan pandangan yang mencakup seluruh aspek kehidupan termasuk urusan politik.

Islam menggariskan secara gamblang bagaimana ikatan iman merupakan sebaik-baik ikatan. Keteguhan iman menjadikan hubungan antar individu lebih konstruktif, penuh cinta, saling menyayangi dan saling melengkapi. Uniknya, upaya-upaya untuk merealisasikan ajaran Islam itu bukan semata-mata untuk mengurai masalah kehidupan namun semata-mata untuk menjalankan aturan Allah dan meraih ridha Allah SWT.

Seorang Muslim menyadari betul bahwa hidup ini adalah anugerah dari Allah SWT. Anugerah ini merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Hidup manusia bukanlah miliknya. Jiwanya adalah titipan Allah yang dipercayakan kepadanya, maka dia tidak boleh menelantarkan dan menganiayanya, apalagi menghilangkan nyawanya.

Allah berfirman dalamQS. An-Nisa ayat 29-30;

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta sesama kalian secara batil, kecuali dengan perniagaan yang didasarkan suka sama suka di antara kalian. Dan janganlah kalian membunuh diri kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang terhadap kalian. Siapapun yang berbuat demikian dengan melanggar hak dan berlaku dzalim, maka Kami akan memasukkannya ke dalam neraka. Dan yang demikian itu sangatlah mudah bagi Allah.”

Kesadaran terhadap kedudukannya sebagai hamba Allah yang terikat dengan hukum-hukum syariat adalah pilar pertama dalam Islam yaitu ketakwaan individu. Ketakwaan individu ini akah menjauhkan seorang Muslim dari berputus asa terhadap ujian kehidupan. Seorang Muslim akan senantiasa berbaik sangka pada Allah SWT, ridha terhadap Qadha dan memahami benar makna ikhtiar dalam kehidupan.

Pilar kedua yang menjauhkan Muslim dari bunuh diri adalah kontrol sosial. Ukhuwah Islamiyah menumbuhkan kepedulian satu sama lain. Setiap Muslim dijaga untuk tetap ingat dan memenuhi hak-hak saudaranya, melonggarkan beban mereka, menghalangi dan mengingatkan ketika mereka tercebur dalam kedzaliman, senantiasa khusnudzan, menutup aib-aibnya, senantiasa ta`awun dalam kebaikan dan ketakwaan.

Secara politik Islam menempatkan negara sebagai pilar yang paling utama melindungi rakyatnya dari berputus asa terhadap kehidupan kemudian melakukan bunuh diri. Dalam Islam, Khalifah bukan sekedar simbol kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslimin, namun lebih dari itu Khalifah adalah junnah (perisai) bagi rakyatnya.

Khalifah melindungi jiwa mereka dan memastikan semua kebutuhan mereka terpenuhi dengan menerapkan politik Islam. Diaturlah kehidupan dengan sistem politik Islam yang menjamin terpenuhinya hak-hak pokok rakyat, baik kebutuhan sandang, pangan, dan papan termasuk kebutuhan kolektif pada pendidikan, kesehatan dan keamanan. Oleh karena itu nyaris tidak didapati kasus-kasus bunuh diri dalam peradaban Islam. Betapapun kuat ujian yang harus dihadapi tidak terlintas di benak mereka untuk mengakhiri hidupnya.[]

Exit mobile version