Jumat, 15/11/2024 - 11:02 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

IN-DEPTH

Fenomena Bunuh Diri

SAYA terkesima mendapati ramainya berita bunuh diri di berbagai media. Situs goriau.com yang tayang pada tanggal 23 Maret 2023 mengabarkan seorang anak di Kapuas Hulu Kalimantan Barat menemukan ayahnya yang tewas  gantung diri di rumahnya setelah bangun untuk makan sahur. Di RSUD Daya Makassar, seorang pasien tewas usai melompat dari lantai 4 tempatnya dirawat.

Di Jogja, seorang Ibu Rumat Tangga (IRT) melompat dari jembatan setinggi 13 meter  di Kali Kuning Depok Sleman. Di Samosir Sumatera Utara, Bripka AF bunuh diri diduga dengan meminum sianida. Di Kanada, Remaja menembak ibunya dan membunuh polisi sebelum kemudian bunuh diri. Padahal beberapa hari silam belum lekang dari ingatan kita kasus bunuh diri mahasiswi UI yang melompat dari lantai 18 apartemen kawasan Kebayoran Baru Jakarta Selatan.

Bunuh diri telah menjadi fenomena yang tumbuh kian subur di tengah beratnya kehidupan yang dijalani saat ini sehingga menjadi persoalan serius di berbagai negara. Menandai hal tersebut sejak tahun 2003 World Health Organization (WHO) bersama International Association for Suicide Prevention (IASP) telah mencanangkan bulan pencegahan bunuh diri dengan memperingati World Suicide Prevention Day atau Hari Pencegahan Bunuh diri yang diperingati pada setiap tanggal 10 September.

Menilik data World Population Review pada 2019, terdapat 5 negara dengan rasio bunuh diri tertinggi di dunia, secara berurut di isi oleh negara Lesotho (72,4), Guyana (40,3), Eswatini (29,4), Korea Selatan (28,6) dan Karibati (28,3).

Selain itu, WHO mengatakan bunuh diri adalah penyebab kematian terbesar keempat di antara orang-orang berusia 15-29 tahun di seluruh dunia pada 2019, sebagaimana data yang saya kutip dari bbcindonesia.com yang tayang pada 25 Januari 2023. Sementara Laman goodstats.id pada 26 September 2022 menyampaikan pernyataan WHO bahwa depresi mengisi peringkat 4 sebagai penyakit mematikan di dunia, dan diprediksikan akan menjadi masalah gangguan kesehatan yang utama di dunia.

Penyebab Bunuh Diri

Para ahli menyatakan penyebab bunuh diri sangat kompleks, bukan hanya karena masalah kesehatan pribadi dan mental, tetapi juga terkait dengan faktor ekonomi dan tekanan sosial. Kemiskinan ekstrem menjadi penyebab utama tingginya angka bunuh diri di negara-negara pada  benua Afrika. Fakta tersebut juga terlihat dari laporan tentang sejumlah artis dan influencer Korea Selatan yang biasa mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Jika pun tidak bunuh diri, nyaris sepertiga penduduk Korea Selatan berisiko mati kesepian (cnbcindonesia.com pada 31/8/2022).

Terkait hal ini, Kementerian Kesehatan mengatakan perilaku bunuh diri (ide, rencana dan tindakan bunuh diri) dikaitkan dengan berbagai gangguan jiwa lainnya, seperti depresi. Ketika seseorang mengalami depresi maka tentu akan mengubah berbagai hal baik dari gangguan pola makan, perilaku sosial bahkan jadwal tidur pun menjadi tidak teratur. Pada stadium yang lebih berat, depresi dapat menyebabkan frustasi hingga berpikir untuk menyakiti diri bahkan membunuh dirinya sendiri.

Terdapat banyak teori yang membahas tentang bunuh diri, diantaranya yang terbaik adalah apa yang disimpulkan oleh Durkheim. Durkheim melakukan riset sosial yang didirikan di atas dasar-dasar teoritis yang jelas. Pada awalnya, bunuh diri tampak sebagai tindakan pribadi yang dapat dijelaskan menggunakan istilah-istilah psikologi. Namun Durkheim menemukan bahwa angka bunuh diri berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Bahkan angka bunuh diri ini bisa berbeda dalam satu masyarakat seiring dengan perubahan waktu.

Menurut Durkheim, bunuh diri tergolong dalam fenomena sosial yang hanya dapat diurai melalui faktor-faktor sosial yang melatarbelakanginya. Ini berarti faktor-faktor pokok yang menyebabkan bunuh diri tidak bersumber dari kejiwaan seseorang atau kondisi alam yang melingkupinya, tapi lebih merupakan hasil dari perbedaan-perbedaan dalam struktur masyarakat dan tingkat solidaritas masyarakat. Durkheim merumuskan bahwa jika ikatan agama, keluarga, dan politik menguat maka angka bunuh diri akan menjadi kecil. Namun jika semua itu melemah, maka angka bunuh diri akan menjadi besar (Sulaiman al Husin, 2005).

1 2 3 4

Reaksi & Komentar

وَإِذْ آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَالْفُرْقَانَ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ البقرة [53] Listen
And [recall] when We gave Moses the Scripture and criterion that perhaps you would be guided. Al-Baqarah ( The Cow ) [53] Listen

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi