Kasus yang terjadi di Kediri adalah fenomena gunung es. Bukan hanya di Kediri, tapi daerah dan desa-desa seluruh Indonesia memiliki potensi yang sama. Sekali lagi ini adalah virus korupsi yang menggorogoti dana Desa. Perlu langka kongkrit dari Presiden dan stakeholder yang terkait. Khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam pengawasan, penceagahan dan penindakan kasus korupsi di Desa.
“KPK dan BPK harus turun hingga ketingkat Desa untuk melakukan monitoring dan evaluasi dalam tatakelola manajemen dan keuangan Desa. Bagi yang terbukti, harus ditindak tegas sebelum menjadi kanker bagi dana Desa,” terang Aras.
Harus ada perpanjangan tangan BPK hingga ketingkat Desa untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi tatakelola manajemen dan keuangan Desa.
Berdasarkan Permendagri No.113 Tahun 2014 tentang pengelolaan keuangan desa Pasal 40 ayat 1 ada 2 bahwa (1) Laporan realisasi dan laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan APBDesa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan 38 diinformasikan kepada masyarakat secara tertulis dan dengan media informasi yang mudah diakses oleh masyarakat. (2) Media informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain papan pengumuman, radio komunitas, dan media informasi lainnya.
Dua dasar di atas merupakan dasar dalam mewujudkan pencegahan korupsi partisipatif dalam masyarakat untuk dana desa. Yaitu ikut melaksanakan program dana Desa kemudian melakukan fungsi pengawasan antara rencana dan realisasi anggaran.
“Jika ada ketidaksesuaian dan ketidakwajaran maka patut diduga ada penyelewengan dalam pengelolaan dana desa,” tandas Aras.
“Selanjutnya melakukan fungsi pelaporan atas dugaan penyelewengan dana Desa kepada pihak berwajib atau kontak-kontak yang telah disediakan oleh lembaga Negara yang berwenang seperti KPK dan BPK sebagai bentuk pengawasan partisipatif masyarakat terhadap tatakelola manajemen dan keuangan Desa,” tutup Aktivis PMII asal Makassar.