BANDA ACEH – Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari menilai Gibran Rakabuming Raka masih tetap bisa dilantik menjadi Wakil Presiden Terpilih 20 Oktober, meskipun Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan gugatan Tim Kuasa Hukum PDIP.Menurut Feri, putusan PTUN belum berkekuatan hukum tetap (inkrah) karena belum sampai ke tahap kasasi. “Iya tetap dilantik karena belum berkekuatan hukum tetap,” kata Feri ketika dihubungi wartawan, Rabu (9/10/2024).
Meski demikian, menurut Feri, putusan PTUN ini tetap akan membuat permalasahan serius terkait legalitas Gibran sebagai Wakil Presiden. Begitu juga, dari segi Politik.
“Masalahnya besarnya putusan itu dapat merusak legitimasi dan keabsahan jabatan Gibran,” ucapnya.
Maka itu, kata Feri, Gibran harus mengajukan banding terkait putusan PTUN dan memenangkan putusan banding tersebut agar memperbaiki legitimasinya sebagai Wakil Presiden ke-14 nanti.
“Kalo dinyatakan tidak sah oleh PTUN tentu saja bisa. Namun bukan tidak mungkin Gibran akan banding,” ucapnya.
Diketahui, PTUN Jakarta bakal memutuskan perkara gugatan PDIP ke KPU pada Kamis (10/10/2024) besok.
PTUN Jakarta Tentukan Nasib Gibran sebagai Wapres Hari Ini
Kuasa Hukum PDI Perjuangan Gayus Lumbuun menyatakan yakin Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta berwenang untuk mengadili gugatan terhadap KPU RI terkait perbuatan melawan hukum pada Pilpres 2024.
“Sangat salah (jika PTUN tidak berwenang) karena kami bukan (mempersoalkan) hitungan suara, tetapi kami menggugat tindakan atau perbuatan orang melakukan atau tidak melakukan, itu konsep TUN kata Gayus ditemui usai sidang di PTUN Jakarta, Kamis.
Gayus menegaskan bahwa gugatan yang teregister dengan Nomor Perkara 133/G/TF/2024/PTUN.JKT ini berbeda dengan gugatan sengketa pemilu yang ada di Mahkamah Konstitusi maupun di Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
“Gugatan kami adalah perbuatan melawan hukum oleh penyelenggara (pemilu),” tegas Gayus.
Ia menjelaskan pihaknya mempersoalkan perbuatan melawan hukum saat KPU RI menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, yakni perihal syarat usia calon presiden dan wakil presiden.
Ketika itu, imbuh dia, KPU tidak menaati Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang mengatur bahwa tindak lanjut atas putusan MK dilakukan oleh DPR atau Presiden.
“Ketua KPU yang lalu itu (Hasyim Asy’ari, red) mengirimkan keputusan (MK) itu atau permohonan agar dipakai sebagai peraturan sah ke Menteri Hukum dan HAM (Menkumham). Oleh Menkumham diarahkan kembali sebagaimana undang-undang, yaitu ke DPR,” katanya.
Namun, menurut Gayus, KPU tetap saja tidak menindaklanjuti Putusan MK Nomor 90 untuk diterjemahkan ke dalam Peraturan KPU melalui DPR terlebih dahulu.
“Inilah yang saya anggap sebagai pelanggaran hukum oleh penyelenggara negara dengan kewenangannya dan merugikan masyarakat karena tidak menaati undang-undang,” ujar dia.
Pada perkara ini, PDIP meminta PTUN Jakarta menyatakan tindakan KPU sebagai penyelenggara Pemilu 2024, sepanjang mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden merupakan perbuatan melanggar hukum oleh pejabat pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad).
Tindakan KPU yang dipersoalkan oleh PDIP, pada intinya, yaitu tidak menolak pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden peserta Pemilu 2024.
Dalam petitumnya, PDIP juga meminta agar PTUN mewajibkan KPU untuk tidak melakukan tindakan administrasi pemerintahan sepanjang berkaitan dengan kepentingan pelantikan Wakil Presiden Terpilih Periode 2024–2029 atas nama Rakabuming Raka.
Jika gugatan tersebut dikabulkan, imbuh Gayus, muncul kemungkinan hanya Prabowo Subianto yang dilantik sebagai Presiden RI 2024–2029, sementara wakil presidennya dipilih berdasarkan mekanisme di MPR.
“Bisa begitu, karena Pak Prabowo tidak ada cacat, tidak ada yang salah di Pak Prabowo. Tapi soal MPR, silakan, MPR ‘kan bukan punya pimpinan saja, MPR itu punya seluruh rakyat Indonesia,” kata dia.