BANDA ACEH – Pasca masyarakat dunia kompak melakukan gerakan Boikot, Divestasi dan Sanksi (BDS) terhadap produk-produk yang terafiliasi atau mendukung Israel, kini sejumlah perusahaan yang menjadi sasaran boikot mulai dilanda krisis pendapatan.
Aksi boikot yang dilakukan oleh generasi muda melalui jejaring media sosial seperti TikTok awalnya dimaksudkan agar perusahaan menarik dukungannya dari Israel.
Namun lambat laun gerakan boikot sukses menekan roda perekonomian perusahaan asal Israel, hingga PM Israel Benjamin Netanyahu dikabarkan mulai kesulitan mendapatkan pemasukan untuk membiayai angkatan militernya di tengah lonjakan utang yang mencapai 8 miliar dolar AS.
Kendati belum ada laporan resmi terkait nilai kerugian yang diderita Israel, namun menurut data yang dirilis Al Jazeera, pada 2018 lalu Israel sempat merugi hingga 11,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp 177,37 triliun (satuan kurs Rp15.424) per tahun buntut gerakan boikot produk pro-Israel.
“BDS dilihat sebagai ancaman nyata bagi legitimasi dan pendirian Israel di tingkat global. Jika ini dibiarkan, maka akan menghancurkan Israel,” kata analis Politik Dov Waxman.
Tak hanya produk buatan Israel yang akan terdampak, gerakan boikot juga memicu penurunan nilai saham di sejumlah perusahaan dan brand global yang secara tidak langsung terafiliasi dengan Israel seperti McDonalds, Disney hingga Starbucks.
“Saham McDonalds turun setelah boikot. Saham Disney juga turun karena boikot. Ini adalah hal yang terjadi di seluruh dunia. Saham Starbucks juga turun karena boikot,” ujar netizen platform X @taosophie.
Sementara itu, Menteri Keuangan Israel membantah bahwa gerakan boikot dapat merugikan mereka.
Justru, apabila kebijakan itu diberlakukan maka hanya akan menambah penderitaan rakyat Palestina, bukan merugikan Israel.
Pernyataan tersebut didukung oleh data Organisasi nirlaba asal Washington, Amerika Serikat (AS), Brookings Institution yang menyebut gerakan BDS tidak akan berdampak drastis terhadap perekonomian Israel.
Ini karena sekitar 40 persen ekspor Israel merupakan barang “intermediate” atau produk tersembunyi yang digunakan dalam proses produksi barang di tempat lain, seperti semikonduktor.
Selain itu, sekitar 50 persen ekspor Israel merupakan barang “diferensiasi” atau barang berteknologi tinggi yang tidak dapat disubstitusi atau sulit untuk digantikan, seperti chip komputer khusus, sebagaimana dikutip dari The Jerusalem Post.