Ikhwal ini barangkali yang membuat GM dkk tak melabrak ke institusi penegak hukum atau melapor aparat penegak hukum (APH). Langkah meski bisa jadi tidak sepenuhnya pas, tetapi mampu menjadi katarsis ketika kebuntuan mendera. Gus Mus dalam konteks ini lebih diposisikan sebagai bapak bangsa. Jadi anak anak bangsa yang terkoyak batin dan rasa keadilannya terantuk lantas mengadu. Jurus ini barangkali yang menjadi pertimbangan GM dkk sowan ke Rembang curhat kepada Gus Mus.
Soal apakah curhatan tadi kemudian menemukan solusi atau bertepi pada muara yang diinginkan itu urusan belakang. Saya mencoba untuk berprasangka baik, yakni dengan kebegawanan Gus Mus bisa saja menyampaikan pada para pihak yang berkompeten.
Analogi kecil tumpahan gundah hati, sumbatan yang mengganjal terkait pernak-pernik kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti parodi putusan MK akan disampaikan pada institusi yang berwenang.
Itu narasi implementatif yang tergambar di benak saya. Atau bisa juga, Rembang persisnya Ndalem Gus Mus dimaknakan menjadi panggung untuk mengartikulasikan gerakan moral pendekar-pendekar gaek ini. Karena panggung politis yang lebih snob telah dikuasai pendekar-pendekar tangguh, seperti Masinton Pasaribu, atau Panda Nababan.
GM berhentilah menangis dan meratap menyaksikan riuh, gaduh, jagad politik penuh haru biru itu. Politik adalah politik. Tenang Pak GM, tenang, semua itu hanya sandiwara.
**). Penulis adalah Pemimpin Umum dan Redaksi RMOL Jateng, Wartawan Senior, Direktur JMSI Institute, Ketua Bidang Litbang JMSI Pusat, Dosen Luar Biasa di beberapa Perguruan Tinggi.