BANDA ACEH -Carbon Capture and Storage (CCS) mendadak jadi perbincangan hangat di masyarakat usai calon wakil presiden nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, menanyakan hal tersebut kepada cawapres nomor urut 3, Mahfud MD, dalam Debat Cawapres, di JCC, Jakarta, Jumat kemarin (22/12).
CCS merupakan salah satu teknologi mitigasi pemanasan global dengan cara mengurangi emisi CO2 ke atmosfer. CO2 yang ditangkap akan dikompresi dan diangkut melalui pipa, kapal, kereta api atau truk, untuk digunakan dalam berbagai aplikasi, atau disuntikkan ke dalam formasi geologi yang dalam seperti reservoir minyak dan gas yang sudah habis.
Isu tentang Carbon Capture and Storage (CCS) telah ramai dibicarakan dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2023 (COP) 28 di Dubai, Uni Emirat Arab, awal Desember lalu.
Terkait hal ini, Ketua Umum DPP GMNI, Arjuna Putra Aldino, mewanti-wanti mekanisme CSS ini bisa menjadi siasat negara maju, yang merupakan emiter karbon terbesar, untuk lari dari tanggung jawab.
Di mana, daripada mengubah gaya hidup agar lebih ramah lingkungan, mereka justru menawarkan uang kepada negara berkembang untuk membangun Carbon Capture and Storage (CCS).
“Jangan sampai pembangunan CSS semangat disuarakan karena lebih melihat besaran bantuan dana yang akan didapat. Di sisi lain tidak ada komitmen menghentikan kerusakan hutan dan lingkungan,” jelas Arjuna melalui keterangannya di Jakarta, Senin (25/12).
Arjuna menilai ada indikasi program CCS ini digalakkan untuk melegitimasi agar praktik pembabatan hutan semakin masif dilakukan. Apalagi Pemerintah Indonesia telah meneken MoU dengan ExxonMobil yang mencakup investasi 15 miliar dolar AS dalam industri bebas emisi CO2.
“Jangan sampai CSS jadi sekadar proyek. Namun tidak ada komitmen untuk melindungi alam dan kelestarian lingkungan,” tegasnya.
Selain itu, Arjuna juga menyoroti proyek CCS rentan menumbuhsuburkan korupsi. Potensi korupsi dari CSS bisa terjadi sejak proses sisi hulu penyedia CCS seperti teknologi penangkap karbon, biaya penyimpanan CO2, biaya injeksi, maupun carbon credit. Hingga transportasi, apakah itu saluran pipa, kereta api, truk atau kapal laut. Semua ini akan berujung pada kontrak-kontrak proyek yang bernilai besar.
“Proyek CSS ini, terutama dalam pemberian lisensi, konsesi, dan audit harus dilakukan secara transparan. Jika tidak, akan menciptakan bisnis kroni, perburuan rente, jadi ladang korupsi baru,” ungkap Arjuna.
Untuk itu, Arjuna meminta para calon pemimpin Indonesia ke depan tidak hanya berbicara soal proyek Carbon Capture and Storage saja, namun juga harus ada komitmen yang kuat untuk menghentikan pembabatan hutan yang semakin masif.
Menurut Arjuna, salah satu proyek yang merusak hutan adalah Food Estate yang berada di bawah Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, yang kini menjadi calon presiden nomor urut 2.
Berdasarkan Rencana Operasional Food Estate yang diterbitkan oleh KLHK (2020), luas alokasi Food Estate di empat provinsi sebesar 3,69 juta hektare, hampir melebihi luas Provinsi Jawa Barat.
Luas hutan alam yang berisiko hilang atau terdampak Food Estate hampir tiga kali luas Bali. Rinciannya, 582 ribu hektar gambut lindung dan 838 ribu hektar budidaya.
“Teknologi CSS tidak akan efektif selama masih terjadi pembabatan hutan secara masif seperti program Food Estate. Jangan hanya mengambil keuntungan dari nilai proyeknya saja namun tidak ada komitmen menjaga kelestarian hutan,” tutup Arjuna.