Penulis: Khalil Ismail*
DALAM beberapa minggu ini kita disajikan dengan berita rencana revisi Qanun LKS dan wacana membolehkan kembali beroperasinya Bank Konvensional di Aceh. Wacana tersebut dimulai dari headline di Harian Serambi Indonesia yang tayang pada Jum’at 12 Mei 2023 lalu yang berjudul “DPRA akan revisi Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS)”). Wacana ini datang dari Ketua DPRA, Saudara kita Saiful Bahri alias Pon Yaya. Rencana merevisi Qanun Nomor 11 Tahun 2018 Tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) telah menghentak masyarakat Aceh. Kekagetan masyarakat bukan pada revisi isi Qanun saja, tetapi adanya keinginan untuk membolehkan Bank-Bank Konvensional kembali beroperasi di Aceh.
Apakah Qanun LKS harus Direvisi
Keinginan merevisi Qanun LKS sah-sah saja, apabila dalam penerapannya ditemukan hal-hal yang tidak sesuai atau bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadist, yang merupakan dasar hukum dilahirkannya Lembaga Keuangan Syariah di Aceh. Tetapi sejauh ini tidak pernah terdengar, bahwa ada isi Qanun LKS yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an maupun hadist, sehingga perlu direvisi untuk kesempurnaannya.
Malah, alasan perlu revisi Qanun LKS dianggap “nyeleneh” alias tidak relevan, yaitu muncul tiba-tiba di saat adanya kasus gangguan pada sistem IT Bank Syariah Indonesia, yang berakibat terjadi gangguan pelayanan kepada para nasabah BSI, baik transaksi melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM) maupun Mobile Banking.
Kita katakan tidak relevan karena tidak terdapat hubungan sebab akibat antara keduanya. Gangguan IT BSI tentu karena ada penyebab tersendiri, jelas bukan disebabkan karena Qanun LKS. Sehingga seakan-akan salah satu jalan keluar untuk memperbaiki problem IT BSI adalah dengan membolehkan Bank-Bank Non Syariah beroperasi kembali di Aceh.
Keinginan beroperasinya kembali Bank-Bank Konvensional di Aceh telah menimbulkan pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat, baik dari tokoh-tokoh masyarakat, para praktisi bidang ekonomi syariah dan perbankan, maupun dari para ulama, bahkan organisasi kepemudaan di Aceh.
Masing-masing kubu, baik yang pro maupun yang kontra mempunyai alasan dan tujuan yang berbeda. Dari pro dan kontra tersebut, isu sentralnya terlihat telah beralih dari pokok masalah, yaitu rencana revisi Qanun LKS menjadi terfokus ke rencana mengembalikan Bank Non Syariah ke Aceh.
Perlu dipahami, bahwa gangguan IT pada perbankan merupakan hal yang lumrah terjadi, meskipun telah diupayakan mitigasi sedemikian rupa, tetap aja sekali-kali gangguan tersebut terjadi, tetapi bukan berarti “ka kiamat donya”.
Gangguan IT bisa terjadi di Bank mana saja, dan kapan saja. Bisa terjadi di Bank Syariah dan bisa terjadi di Bank Konvensional. Tingkat dan lama gangguan juga berbeda-beda, ada yang ringan dan ada yang rumit, ada yang hanya beberapa menit, beberapa jam dan ada pula sampai beberapa hari, sehingga membutuhkan waktu untuk memperbaikinya.
Sebagai orang yang pernah bekerja di Bank, penulis sering mengikuti acara pelatihan, lokakarya dan seminar di bidang perbankan bersama teman-teman dari Bank-Bank Swasta dan Bank-Bank Pemerintah. Harus kita akui bahwa kemampuan dan keahlian SDM (khususnya tentang IT) yang dimiliki oleh mereka sangat bagus dan unggul, karena mereka dididik dan mengikuti pelatihan di Dalam Negeri maupun di Luar Negeri.
Oleh karenanya, kita yakin masalah gangguan IT ini akhirnya dapat dengan cepat tertangani dan diselesaikan oleh BSI, sehingga dapat kembali memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Jadi jika alasan mengembalikan Bank Konvensional ke Aceh dengan alasan terjadinya error IT BSI jadinya tidak relevan. Dengan demikian menyalahkan dan mengkaitkan Qanun LKS, apalagi menyalahkan Syariah karena kasus IT BSI sudah tentu tidak bisa diterima oleh penolak revisi.
Semangat dan Jiwa Lahirnya Qanun LKS
Sejenak jika kita kilas balik pada saat Qanun LKS dibuat, begitu banyak dukungan dari berbagai pihak, baik Pemerintah Daerah, DPRA, Partai-Partai politik, Pakar Ekonomi dan Perbankan, dan tentu saja dukungan yang tidak terbatas dari para ulama.
Sebelum kita merevisi Qanun LKS, baiknya kita lihat kembali apa yang dicantumkan di dalam Konsideran “Menimbang” di dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS), yang merupakan semangat dan jiwa dari lahirnya Qanun LKS, yaitu:
- Bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah dasar utama agama Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam dan telah menjadi keyakinan serta pegangan hidup masyarakat Aceh.
- Bahwa dalam rangka pelaksanaan Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki 15 Agustus 2005 dst.
- Bahwa dalam rangka mewujudkan ekonomi masyarakat Aceh yang adil dan sejahtera dalam naungan Syariat Islam memerlukan jasa lembaga keuangan syariah.
- Bahwa kebutuhan masyarakat Aceh terhadap lembaga keuangan syariah sebagai salah satu instrumen penting daalam pelaksanaan ekonomi syariah.
Dari isi konsideran tersebut, tidak mungkin rasanya kita merevisi Qanun LKS, karena dasar pendirian LKS sangat mulia, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta dalam usaha mewujudkan ekonomi masyarakat Aceh yang adil dan sejahtera dalam naungan Syari’at Islam. Yang juga merupakan instrumen penting dalam pelaksanaan ekonomi syariah.
Dari semangat yang tercantum dari konsideran tersebut, sulit bagi kita menerima rencana revisi Qanun LKS, sekaligus ingin mengembalikan Bank Konvensional ke Aceh sebagai negeri yang memberlakukan Syari’at Islam. Padahal kita tau, bahwa Bank Konvensional menjalankan operasionalnya dengan sistem bunga bank, yang di dalam Islam (pendapat mayoritas Ulama) adalah Riba. Riba dilarang keras oleh Allah SWT. Larangan tersebut dapat kita lihat pada ayat Al-Qur’an berikut ini:
QS Ali Imron Ayat 130:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Peliharalah diri mu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir”.
QS Al-Baqarah 275 :
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Dari sinilah harus berhenti (mengambil harta riba). Orang yang mengambil riba, maka orang itu adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.
Terdapat juga beberapa Hadist Rasullullah SAW yang juga memerintahkan agar seorang muslim menjauhi Riba karena dosa riba setara dengan perbuatan dosa seseorang menzinahi ibundanya. Diriwayatkan dari Baraa’bin ‘Azib RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Dosa riba terdiri dari 72 pintu. Dosa riba yang paling ringan adalah bagaikan seorang laki-laki yang menzinahi ibu kandungnya.” (HR Thabrani)
Konsekuensi dari Revisi Qanun LKS ke Depan
Wacana revisi Qanun LKS merupakan test case bagi Pemerintah Aceh dan rakyat Aceh yang menjunjung tinggi, memuliakan dan mencintai Syari’at Islam. Mencintai bukan hanya di mulut saja, tetapi juga dalam tindakan. Jika revisi Qanun LKS ini berhasil dilaksanakan, tidak tertutup kemungkinan, revisi bahkan pembatalan akan juga terjadi pada Qanun-Qanun yang lain, seperti Qanun hukuman cambuk dan lain-lain bagi mereka yang melanggar Syari’at Islam, karena adanya tekanan dari pihak-pihak atau organisasi HAM, dengan alasan melanggar HAM.
Terakhir dari tulisan ini, penulis ingin menyampaikan pengalaman teman yang pernah mengikuti tes masuk di Bank Muamalat Indonesia (BMI). Pada saat wawancara dengan Dirut BMI pada saat itu (Bpk. Zainul Bahar Noor), beliau mengatakan bahwa jika nanti bekerja BMI harus bekerja dengan baik, sebab jikan BMI gagal, maka anda, saya dan seluruh Karyawan/wati BMI akan berdosa. Karena pasti masyarakat akan mengatakan, bahwa Al-Qur’an dan Al-Hadist yang tidak benar dan tidak cocok untuk dipedomani dan digunakan beroperasinya Bank Syariah.
Menurut hemat penulis, inilah yang sedang terjadi sekarang di Aceh, sebagian orang Aceh menganggap bahwa kasus terganggunya sistem IT BSI, ada hubungannya dengan penerapan Syari’at Islam, termasuk Qanun LKS.
Sebagai suatu test case, maka semua terpulang kepada kita. Apakah kita akan setuju atau menolak revisi Qanun Nomor 11 Tahun 2018 Tentang Lembaga Keuangan Syariah, termasuk membolehkan Bank-Bank Non Syariah beroperasi kembali di Aceh.
Sejujurnya, mana yang akan dipilih, tidak terletak pada seberapa banyak yang pro dan yang kontra, tetapi terletak pada keyakinan kita, bahwa hukum dan aturan yang datangnya dari Allah SWT adalah yang terbaik yang wajib dipedomani dan dilaksanakan.
Kita tunggu kelanjutan perjalanan wacana ini. Bagaimana ending-nya. Apakah hukum Allah SWT yang akan menang, atau hukum manusia yang akan mengalahkan hukum Allah SWT. Ada pepatah ureung Aceh “Ban moto yang boco, taba u bengkel, tapi yang dibongkar meusen moto”. Wallahualam bissawab.
*). Penulis adalah Direktur Kepatuhan Bank Aceh Syariah Periode 2006 -2010