Ikan Busuk dari Kepalanya, Benarkah?

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

OLEH: ROMLI ATMASASMITA

   

ADVERTISEMENTS

MENJELANG pelantikan, Presiden terpilih Prabowo Subianto telah menyampaikan beberapa pernyataan yang sepatutnya juga dicatat oleh masyarakat, yaitu antara lain, berantas korupsi, jangan seperti burung unta, dan terakhir Prabowo menyampaikan bahwa ikan itu busuk dari kepalanya.

ADVERTISEMENTS

Pernyataan terakhir ini mengingatkan pernyataan (alm) Prof Sahetapy di dalam acara ILC yang diartikan bahwa korupsi, kolusi, dan nepotisme yang terjadi akhir-akhir ini di dalam Politik dalam negeri Indonesia, disebabkan hilangnya korsa kepemimpinan pada kepala lembaga pemerintahan, seperti menteri dan kepala lembaga negara, serta lembaga kekuasaan kehakiman dari jabatan terendah sampai tertinggi.

ADVERTISEMENTS

Pernyataan Prabowo harus kita apresiasi karena keberanian menyatakan hal yang benar dari yang batil; namun masih ada satu lagi pernyataan yang perlu disampaikan Prabowo sebagai presiden terpilih 2024-2029 yaitu, hukum tidak lagi tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah; yang harus dimaknai bahwa penegakan hukum harus dilaksanakan secara konsisten, pasti, adil dan bijaksana.

ADVERTISEMENTS

Beberapa janji presiden Indonesia telah kita saksikan dan dalam kenyataan telah mengecewakan karena menyimpang dari janji-janji kampanye dan pidato pelantikan sehingga yang terpenting dan terutama bagi kita adalah rencana kerja/aksi yang akan dilaksanakan dalam lima tahun yang akan datang, baik dalam bidang ekonomi, politik, dan bidang hukum.

ADVERTISEMENTS

Khususnya di dalam bidang penegakan hukum harus menjadi prioritas utama karena krisis hukum selama 78 tahun merdeka tidak berakhir dengan kepastian, keadilan apalagi memberikan kemanfaatan terbesar bagi bangsa dan negara hukum Indonesia.

ADVERTISEMENTS

Negara hukum Indonesia sebagaimana telah dinormakan di dalam UUD 45 hanya diwujudkan dalam sejumlah undang-undang saja, bukan pada kualitas penegakannya; sepanjang diketahui dalam tujuh kali masa kepemimpinan nasional, penegakan hukum ibaratnya menegakkan “benang basah”.

Penegakan hukum yang memprihatinkan adalah yang dilatarbelakangi penyanderaan untuk tujuan kepentingan mempertahankan kekuasaan atau mewujudkan tujuan kekuasaan semata-mata. Peristiwa menjelang berakhirnya masa pemerintahan Joko Widodo, kita saksikan politik sandera yang dikemas dalam bingkai hukum di mana kekuasaan yudikatif dipengaruhi atau diintervensi kekuasaan eksekutif; dan berhasil.

Yang dikhawatirkan adalah, politik sandera sedemikian menjadi suatu preseden bagi pemimpin politik pemerintahan lima tahun yang akan datang. Untuk mencegah dan mengurangi kemungkinan terburuk sedemikian, diperlukan kekuatan masyarakat sipil (civil society) dalam penegakan hukum melalui partisipasi aktif sejak pembentukan perundang-undangan sampai pada penegakan hukum sehingga tidak ada cela “hanky-panky” antara oknum aparatur hukum dan pihak/kelompok yang berkepentingan.

Jargon “ikan busuk dari kepalanya” merupakan pilihan tepat kata-kata yang dilontarkan Presiden terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto dan jika jargon tersebut sekaligus peringatan Prabowo dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa, “Ikan menjadi busuk, busuknya mulai dari kepala. Semua pejabat dari semua tingkatan harus memberi contoh menjalankan kepemimpinan pemerintahan yang sebersih-bersihnya. Mulai contoh dari atas, dan sesudah itu penegakan hukum yang tegas dan keras”.

Dua kosa kata dari pernyataan tersebut, “memberi contoh yang baik dalam kepemimpinannya, dan penegakan hukum yang tegas dan keras”, merupakan  kunci keberhasilan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN sebagaimana dimaksud dalam UU 28/1999 tentang KKN.

Terhitung sejak pelantikan sampai dengan masa pemerintahan Prabowo 2024-2029, lembaga sosial wajib mengawasi dan mengawal pemerintahan sedemikian ketat dan intensif tanpa harus ada kekhawatiran dicap anti pemerintah dan dijebloskan ke penjara karena pola pemerintahan sedemikian jelas ciri pemerintahan otoritarian yang tidak mengakui hak rakyat akan kebebasan berpendapat di muka umum dan  untuk memperoleh informasi publik sebagaimana telah dicantumkan dalam UU 9/1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU 14/2008 tentang Kebebasan Informasi Publik (UU KIP).

Bahwa di dalam UU KIP telah dijamin, setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi publik, dan setiap informasi publik harus dapat diperoleh setiap pemohon informasi publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana; dikecualikan dari informasi publik adalah informasi mengenai proses penyelidikan dan penyidikan.

Namun dua kosa kata dan kunci keberhasilan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN tidak pernah diwujudkan secara baik di masa pemerintahan masa lalu sampai pada era Joko Widodo.

Satu dan lain sebab adalah, keteguhan sikap pemimpin nasional serta jajaran di bawahnya yang ragu-ragu dalam mengambil sikap tegas dan keras dalam penegakan hukum serta tidak melaksanakan amanah memberikan contoh baik di dalam masa kepemimpinannya.

Ini diperparah dengan sistem koalisi partai politik yang mendukung pemerintahan tetapi yang tampak adalah, mengambil keuntungan dalam kesempatan demi kepentingan partainya bukan atas nama dan demi kesejahteraan rakyatnya.

Kondisi sosial politik dan hukum sedemikian merupakan pengalaman buruk yang seharusnya ditinggalkan pemerintahan Prabowo dalam lima tahun mendatang sehingga pernyataan keras dan tegas Presiden Prabowo merupakan shock therapy terhadap jajarannya dan konsisten dalam tindakannya. 

(Penulis adalah Gurubesar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran)

Exit mobile version