Pemerintah tidak berfungsi sebagai regulator sebagaimana dalam sistem ekonomi kapitalisme, dimana urusan pangan tidak lagi dikelola untuk menyejahterakan rakyat dan menjamin kedaulatan pangan, bahkan tanggung jawabnya pun sudah lepas dari negara. Banyak kebijakan yang tak berpihak pada rakyat, bahkan banyak lembaga bentukan negara yang mubasir karena tak tepat guna. Salah satu contoh, bukti salah arah politik pangan ini adalah pada pengabaian dalam menjaga lahan pertanian dengan membiarkan alih fungsi sawah berlangsung secara masif, bahkan mencapai 90—100 ribu ha/tahun.
Terjadinya lonjakan harga pupuk dan pembatasan distribusi pupuk subsidi, juga bukti ketakseriusan pemerintah mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan. Begitu pula ketiadaan jaminan penyerapan hasil panen petani dengan harga wajar, berkontribusi makin menurunkan jumlah petani. Wajar jika dikatakan pemerintah tidak memiliki visi politik pangan yang jelas. Petani menjerit, pemerintah kian tak arif, terus menerus fokus pada pelayanan kepada asing atau swasta.
Akibatnya, tanggung jawab negara juga makin minim dalam pengaturan urusan beras dan pangan secara umum. Negara hadir sekadar sebagai regulator dan fasilitator, yakni pelayan korporasi, bukan penanggung jawab dan pengurus rakyat. Walhasil, mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi, semua ada di tangan korporasi , terutama swasta. Pengaturan pun dilakukan “suka-suka” korporasi demi mencari keuntungan materi.
Konsekuensinya, ketika negara berfungsi sebagai regulator, badan negara seperti BUMN, dalam hal ini Bulog, bukan lagi berkedudukan sebagai perpanjangan tangan negara untuk melayani kebutuhan rakyat, melainkan layaknya korporasi yang mencari profit. Paradigma ini memalingkan peran negara dari fungsi yang seharusnya sehingga berakibat buruknya pemenuhan kebutuhan pangan rakyat, yakni beras dan dan kehidupan petani, serta publik secara umum dalam kesengsaraan berkepanjangan. Diperparah dengan adanya otonomi daerah dan kekuasaan bersifat desentralisasi, kementerian dan badan-badan terkait pengurusan pangan tidak berada dalam satu komando pengelolaan yang akhirnya memperburuk dan memperpanjang rantai birokrasi. Demikian pula kepala daerah, berbeda kebijakan. Sehingga daerah yang lemah kian terpuruk.
Pada aspek ekonomi, sistem ekonomi kapitalisme yang keberadaannya didukung sistem politik demokrasi dan sekularisme, secara keseluruhan meniscayakan lahirnya korporasi raksasa yang menguasai seluruh rantai usaha pertanian, mulai dari produksi, distribusi, konsumsi, bahkan termasuk importasi. Walhasil, pasokan pangan dan rantai perdagangan beredar di antara segelintir korporasi besar ini. Contohnya, Rice Milling Unit (RMU) milik PT Wilmar, pada 2022 mampu membeli gabah sebanyak 331.546 ton GKG serta menstok sekitar 1,2 juta ton beras. Ini membenarkan pernyataan Dirut Bulog , Budi Waseso, bahwa 94% penguasaan pasar pangan di Indonesia berada di tangan korporasi, sedangkan Bulog menguasai 6% saja.
Sangat berbeda dengan politik ekonomi Islam yang diarahkan pada jaminan pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu rakyat dan memudahkan rakyat memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kemampuan. Ketahanan pangan artinya menstabilkan terlebih dahulu kebutuhan dalam negeri dengan cara swasembada pangan terlebih dahulu. Dan tidak serta merta mengimpor bahan kebutuhan pokok sebelum kondisi dalam negeri stabil.
Tanggung jawab untuk merealisasikan politik ekonomi ini berada di pundak negara, yakni menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan, papan, sandang, bahkan pendidikan, kesehatan, dan keamanan bagi semua rakyat tanpa terkecuali, baik muslim maupun nonmuslim. Islam melarang terjadinya penguasaan oleh korporasi swasta yang bisa mengendalikan pengaturan pangan. Apabila terjadi, hal itu termasuk pelanggaran syariat.
Struktur negara, mulai dari tingkat pusat hingga unit-unit teknis, termasuk BUMN, wajib hadir sebagai penanggung jawab dan pengatur pertanian dan pangan. Semua fungsi yang dijalankan terbebas dari unsur bisnis. Penerapan sistem politik ini sejalan dengan sistem ekonomi Islam yang mengatur kepemilikan harta sesuai syariat Islam sehingga tidak terjadi penumpukan kekayaan pada segelintir pihak.