Indonesia, Beras Tumbuh Subur Mengapa Mafia Dagang Juga?

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ilustrasi persawahan yang ditanami dengan pagi yang kemudian menjadi beras. FOTO/Net

INDONESIA pernah tenar dengan julukan negara agraris, yaitu negara yang mengandalkan bidang pertanian untuk menopang ekonominya. Dengan penghasilan pertanian terbesar padi. BPS mencatat, Keadaan Pekerja di Indonesia Februari 2022 profesi sebagai petani mencapai 9.749.093 jiwa. Namun sayang, fakta ini tak mampu mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia secara keseluruhan. Harga beras semakin naik setiap tahunnya, padahal beras adalah makanan pokok rakyat Indonesia.

Sempat ada beberapa petinggi negeri ini yang mengajak rakyat untuk beralih dari beras, ke Singkong, Porang, Bulgur, ubi-ubian dan lainnya yang dengan rekayasa teknologi bisa dikonsumsi praktis layaknya nasi. Apakah yang demikian adalah solusi? Tentu tidak, sebab, tidak lantas serta merta mengganti bahan makanan pokok tanpa menggali akar persoalannya terlebih dahulu. Apalagi, bahan pokok pengganti beras selain produksinya masih terbatas, tidak familiar juga harganya tidak murah. Tidak setiap keluarga Indonesia mampu membelinya.

ADVERTISEMENTS

Menurut Dirut Bulog Budi Waseso, melambungnya harga beras karena ulah para mafia yang melakukan intervensi harga sehingga beras dari gudang Bulog ke pedagang jadi mahal. Harga beras tersebut dijual dari gudang Bulog seharga Rp 8.300, tetapi sampai ke pedagang lebih dari itu. Mengetahui fakta ini, Satuan Tugas (Satgas) Pangan akan mengusutnya, Wakil Kepala Satgas Pangan Polri Helfi Assegar mengatakan para pelaku praktik mafia akan diberi peringatan. Jika tidak jera juga maka sanksi hukum dijatuhkan. “Apabila sudah diberikan peringatan, tidak bisa (mematuhi) dan tidak mau, kita harus lakukan penegakan hukum. Ada hal-hal khusus yang jadi target kami dan tentu akan dilakukan pendalaman.”

ADVERTISEMENTS

Helfi juga menyatakan tindakan oknum nakal yang menghambat rantai distribusi beras akan ditertibkan, terutama menyangkut harga (detik com, 21/1/2023). Akankah persoalan mafia beras ini akan selesai hanya dengan peringatan? Sebab, di negeri ini praktik mafia sudah merajalela, tak hanya beras, tapi juga bahan kebutuhan pokok lainnya. Mafia minyak goreng, mafia gula, mafia kedelai dan lainnya. Juga tidak hanya terjadi di Pulau Jawa, namun rata di seluruh Indonesia. Anehnya pula, setiap menjelang bulan puasa, hari raya, tahun baru harga bahan pokok melonjak dinatas harga rata-rata, seolah ada komando invisible hand agar harga naik dengan berbagai alasan, di antaranya alasan klasik masalah distribusi. Artinya ini ada pengaruh kebijakan dalam sebuah sistem perekonomian.

ADVERTISEMENTS

Jika melihat upaya pemerintah, memang tak tinggal diam, sepertinya misalnya untuk memastikan pasokan pangan saat puasa dan Lebaran aman. Presiden Joko Widodo (Jokowi) memanggil sejumlah pejabat untuk mengecek satu-satu kondisi pasokan pangan, termasuk beras. Dan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dengan yakin merespon perintah presiden dengan mengatakan memasuki Maret ada panen beras di lahan 1 juta hektare. Menurutnya, akan terjadi panen raya. “Tentu ketersediaan ini tidak hanya berjalan sendiri harus diikuti dengan tentu distribusi-distribusi dan lain-lain sebagainya sehingga normalisasi harga dari beras itu bisa juga dicapai,” ujarnya. (detik.com, 25/2/2023).

ADVERTISEMENTS

Dan Budi Waseso sebagai Direktur Utama Perum Bulog jug telah mengatakan akan menyerap sebanyak mungkin hasil panen petani sesuai arahan Jokowi. “Ambil sebanyak mungkin, tadi sudah ditegaskan Bapak Presiden,” katanya. Bulog mendapat penugasan untuk menyerap hasil panen petani 2,4 juta ton tahun ini. Ditanya berapa yang akan diserap Bulog dalam panen raya kali ini, ia menyebut akan menyerap 70% dari 2,4 juta ton. Beras itu akan dijadikan sebagai cadangan beras pemerintah (CBP).

ADVERTISEMENTS

Sistem Ekonomi Kapitalis Munculkan Mafia Beras

Dalam sistem ekonomi kapitalis, mafia beras, adalah salah satu praktik yang niscaya akan muncul. Demikian pula dengan rusaknya rantai distribusi dari Bulog ke pedagang hingga berakibat pada melonjaknya harga beras juga akan terjadi. Sebab, sistem perekonomian ini hanya bertumpu pada pengusaha bermodal besar, yang dengan modalnya ini berusaha menguasai pasar dan akses yang berkaitan dengan ini termasuk penguasa. Bisa dilihat dari kebijakan keringanan bea masuk impor yang diberlakukan pemerintah, juga dengan fakta terus menerusnya pemerintah impor beras meskipun petani bakal panen raya.

ADVERTISEMENTS

Tercatat Desember tahun lalu, Perum Bulog mengimpor 5.000 ton beras asal Vietnam yang dialokasikan untuk pemenuhan stok cadangan beras pemerintah (CBP) yang dilakukan secara bertahap sehingga sampai Desember 2022 total importasi beras sebanyak 200.000 ton, dan sisanya 300 ribu ton hingga sebelum panen raya atau Februari 2023. Alasan Bulog, cadangan beras pemerintah semakin menipis, Impor juga dibutuhkan untuk melakukan intervensi harga terutama di saat harga melonjak maupun kondisi darurat seperti bencana alam.

Inilah sebetulnya yang makin menguatkan sebab munculnya mafia beras, posisi dan peran Bulog yang lemah. Berdasarkan Perpres 48/2016, Perum Bulog ditugaskan untuk menjaga ketersediaan pangan dan stabilisasi harga tiga komoditas pangan pokok, yaitu beras, jagung, dan kedelai. Namun anehnya, persoalan ketersediaan dan stabilitas harga pada ketiga komoditas pangan penting ini sangat sulit terwujud. Kompleksitas masalahnya bagaikan benang kusut yang mustahil terurai.

Terkait beras, misalnya, peran Bulog tidak optimal menyerap hasil panen petani yang seharusnya dijadikan cadangan pangan negara. Berbagai alasan dikemukakan, seperti kualitas panen petani yang tidak sesuai ketentuan Bulog. Juga harga yang di luar HPP (Harga Pokok Penjualan) sehingga mayoritas panen petani tidak mengalir ke gudang Bulog, melainkan dikuasai tengkulak, pedagang besar, dan lain sebagainya.

Fungsi sebagai stabilisator harga pun Bulog tidak mampu , tetap saja terjadi kondisi tidak stabil terkait harga yang bisa terjangkau masyarakat tanpa merugikan pedagang. Operasi pasar yang kerap dilakukan sekadar bisa meredakan harga dan wilayahnya pun terbatas. Hal ini karena Bulog tak lagi sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam mengurusi rakyatnya, namun sudah beralih menjadi regulator kebijakan sebagaimana pemerintah sendiri. Bulog memiliki pasokan beras yang minim ditambah sejumlah regulasi distribusi yang ribet dan sulit. Akhirnya, tata niaga beras sangat mudah dikooptasi para pedagang besar yang mampu menyimpan stok besar.

Di tengah ketidakoptimalannya, Bulog sebagaimana BUMN lainnya justru dituntut berbisnis. Akhirnya, lembaga pemerintah ini bukan lagi semata-mata melayani kebutuhan rakyat. Di balik fungsi PSO-nya ( Public Servis Obligation) atau kewajiban pelayanan publik, Bulog ternyata memiliki tujuan profit dengan memproduksi produk-produk komersial untuk mencari keuntungan. Tentu saja bukan kesejahteraan yang didapat, sebab praktik ini sama saja menjadikan rakyat sebagai mitra bisnis, ada perhitungan untung rugi. Jelas bertentangan dengan kewajiban negara sebagai penjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat.

Bulog pun tak ubahnya dengan munculnya mafia-mafia perdagangan. Bukannya memudahkan urusan rakyat, justru cari untung padahal yang menjadi modalnya adalah milik rakyat. Sementara negara tidak berdaya menghadapi mafia-mafia ini, sudah menjadi rahasia umum jika orang-orang yang tergabung dalam mafia ini bukan orang asing bagi pemerintah, merekah yang menjadi pendonor terbesar aktifitas politik di tahun-tahun politik.

Ya, sistem ekonomi kapitalis memang menjadi mesin uang bagi politik demokrasi yang juga dianut oleh negara Indonesia. Siapa saja pemimpinnya, ia harus dengan mudah dikendalikan oleh para pemodal besar ini, kampanye dan dana lain-lain susah digelontorkan untuk sukses hingga duduk di kursi kekuasaan, dalam 5 tahun, haruslah ada realisasi balas Budi politik. Demokrasi faktanya demikian, tak ada yang netral maju sebagai pemimpin. Sebab biaya naik menjadi pemimpin sangatlah mahal. Itulah juga yang menjadi sebab makin mengguritanya praktik korupsi. Wajar jika akhirnya lidah penguasa kelu di hadapan para mafia. Dan tajam serta zalim di hadapan rakyat.

Islam: Peran Pemimpin Bertakwa Sangat Penting Hapus Mafia

Rasulullah saw. Bersabda, “Imam/khalifah itu laksana gembala dan hanya ialah yang bertanggung jawab terhadap hewan gembalanya.” (HR Bukhari dan Muslim). Artinya, ketahanan pangan yang kemudian mewujudkan kesejahteraan rakyat ada dalam jaminan negara. Butuh pemimpin yang tak sekadar sanggup menanggung beban ini namun juga bertakwa dan akidahnya kuat.

Pemerintah tidak berfungsi sebagai regulator sebagaimana dalam sistem ekonomi kapitalisme, dimana urusan pangan tidak lagi dikelola untuk menyejahterakan rakyat dan menjamin kedaulatan pangan, bahkan tanggung jawabnya pun sudah lepas dari negara. Banyak kebijakan yang tak berpihak pada rakyat, bahkan banyak lembaga bentukan negara yang mubasir karena tak tepat guna. Salah satu contoh, bukti salah arah politik pangan ini adalah pada pengabaian dalam menjaga lahan pertanian dengan membiarkan alih fungsi sawah berlangsung secara masif, bahkan mencapai 90—100 ribu ha/tahun.

Terjadinya lonjakan harga pupuk dan pembatasan distribusi pupuk subsidi, juga bukti ketakseriusan pemerintah mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan. Begitu pula ketiadaan jaminan penyerapan hasil panen petani dengan harga wajar, berkontribusi makin menurunkan jumlah petani. Wajar jika dikatakan pemerintah tidak memiliki visi politik pangan yang jelas. Petani menjerit, pemerintah kian tak arif, terus menerus fokus pada pelayanan kepada asing atau swasta.

Akibatnya, tanggung jawab negara juga makin minim dalam pengaturan urusan beras dan pangan secara umum. Negara hadir sekadar sebagai regulator dan fasilitator, yakni pelayan korporasi, bukan penanggung jawab dan pengurus rakyat. Walhasil, mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi, semua ada di tangan korporasi , terutama swasta. Pengaturan pun dilakukan “suka-suka” korporasi demi mencari keuntungan materi.

Konsekuensinya, ketika negara berfungsi sebagai regulator, badan negara seperti BUMN, dalam hal ini Bulog, bukan lagi berkedudukan sebagai perpanjangan tangan negara untuk melayani kebutuhan rakyat, melainkan layaknya korporasi yang mencari profit. Paradigma ini memalingkan peran negara dari fungsi yang seharusnya sehingga berakibat buruknya pemenuhan kebutuhan pangan rakyat, yakni beras dan dan kehidupan petani, serta publik secara umum dalam kesengsaraan berkepanjangan. Diperparah dengan adanya otonomi daerah dan kekuasaan bersifat desentralisasi, kementerian dan badan-badan terkait pengurusan pangan tidak berada dalam satu komando pengelolaan yang akhirnya memperburuk dan memperpanjang rantai birokrasi. Demikian pula kepala daerah, berbeda kebijakan. Sehingga daerah yang lemah kian terpuruk.

Pada aspek ekonomi, sistem ekonomi kapitalisme yang keberadaannya didukung sistem politik demokrasi dan sekularisme, secara keseluruhan meniscayakan lahirnya korporasi raksasa yang menguasai seluruh rantai usaha pertanian, mulai dari produksi, distribusi, konsumsi, bahkan termasuk importasi. Walhasil, pasokan pangan dan rantai perdagangan beredar di antara segelintir korporasi besar ini. Contohnya, Rice Milling Unit (RMU) milik PT Wilmar, pada 2022 mampu membeli gabah sebanyak 331.546 ton GKG serta menstok sekitar 1,2 juta ton beras. Ini membenarkan pernyataan Dirut Bulog , Budi Waseso, bahwa 94% penguasaan pasar pangan di Indonesia berada di tangan korporasi, sedangkan Bulog menguasai 6% saja.

Sangat berbeda dengan politik ekonomi Islam yang diarahkan pada jaminan pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu rakyat dan memudahkan rakyat memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kemampuan. Ketahanan pangan artinya menstabilkan terlebih dahulu kebutuhan dalam negeri dengan cara swasembada pangan terlebih dahulu. Dan tidak serta merta mengimpor bahan kebutuhan pokok sebelum kondisi dalam negeri stabil.

Tanggung jawab untuk merealisasikan politik ekonomi ini berada di pundak negara, yakni menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan, papan, sandang, bahkan pendidikan, kesehatan, dan keamanan bagi semua rakyat tanpa terkecuali, baik muslim maupun nonmuslim. Islam melarang terjadinya penguasaan oleh korporasi swasta yang bisa mengendalikan pengaturan pangan. Apabila terjadi, hal itu termasuk pelanggaran syariat.

Struktur negara, mulai dari tingkat pusat hingga unit-unit teknis, termasuk BUMN, wajib hadir sebagai penanggung jawab dan pengatur pertanian dan pangan. Semua fungsi yang dijalankan terbebas dari unsur bisnis. Penerapan sistem politik ini sejalan dengan sistem ekonomi Islam yang mengatur kepemilikan harta sesuai syariat Islam sehingga tidak terjadi penumpukan kekayaan pada segelintir pihak.

Di samping itu, sistem ekonomi Islam juga menjamin terwujudnya distribusi kekayaan ke seluruh rakyat dengan mekanisme sesuai syariat, disertai sistem mata uang berbasis emas dan perak sehingga terealisasi sistem ekonomi yang stabil. Pengaturan negara Khilafah akan sebagai berikut: Pertama, untuk menjamin pasokan beras terpenuhi, negara akan memastikan semua lahan pertanian atau sawah benar-benar tergarap maksimal. Untuk itu, negara akan menerapkan tiga mekanisme pengaturan tanah, yaitu menghidupkan tanah mati, kewajiban mengelola tanah oleh pemiliknya, serta larangan untuk menyewakan lahan pertanian. Sehingga tidak ada lahan pertanian yang menganggur. Khalifah Umar ra. Pernah berkata, “Orang yang memagari tanah, tidak berhak lagi (atas tanah tersebut) setelah (menelantarkannya) selama tiga tahun.”

Kedua, terkait lahan pertanian, khususnya sawah yang telah beralih fungsi, negara semaksimal mungkin berupaya mengembalikannya kepada fungsi utamanya. Ini karena tanggung jawab yang melekat pada kepemilikan tanah dan pengelolaannya adalah harus memperhatikan produksi pertanian, serta keberlangsungan dan peningkatan produktivitasnya. Karakter tanah cocok untuk budi daya padi, tidak dibenarkan beralih fungsi ke pemanfaatan lainnya.

Ketiga, untuk optimalisasi pengelolaan tanah, negara akan mendukung para petani dengan penyediaan alat, mesin, dan sarana pertanian dengan mudah dan harga terjangkau. Penyediaan semua kebutuhan pertanian tentu memperhatikan jumlah, pemerataan, dan kualitas. Hal ini sebagaimana pernah Umar ra. Perintahkan kepada Mughirah bin Syu’bah sang Gubernur Bashrah melalui suratnya, “Amma ba’du, sesungguhnya Abu Abdullah menyebutkan bahwa ia menggarap ladang di Bashrah di wilayah Ibnu Ghazwan dan beternak anak kuda kala tidak ada seorang pun yang melakukannya. Maka bantulah ia atas pertanian dan peternakannya karena aku telah mengizinkannya berladang dan berikanlah kepadanya tanah yang ditanaminya.”

Terkait optimalisasi ini, negara juga akan mendorong berbagai riset di perguruan tinggi dan lembaga penelitian untuk menghasilkan inovasi terbaik dan unggul, baik menghasilkan benih unggul, pupuk, pestisida, maupun sistem budi daya padi yang terbaik.

Keempat, terkait aspek distribusi, negara akan mengangkat para Qadi hisbah (hakim) yang akan melakukan pengawasan kepada para penjual dan pembeli agar terwujud sistem distribusi dan pembentukan harga wajar. Negara juga melarang dan mencegah terjadinya penimbunan, melarang riba, melarang praktik tengkulak, kartel, dan sebagainya. Qadi hisbah pun bisa langsung menjatuhkan sanksi ketika ditemukan adanya pelanggaran. Ketika kebijakan ini dijalankan, negara akan memastikan semua infrastruktur publik tersedia merata hingga ke pelosok daerah dan bisa dimanfaatkan oleh seluruh rakyat. Mulai dari irigasi pertanian, jalan, jembatan, moda transportasi, gudang-gudang dan tempat penyimpanan, layanan listrik, dan lainnya sehingga tidak zoong sebagaimana hari ini, setiap kebijakan tidak didukung dengan perbaikan infrastruktur sehingga tidak sesuai target kebijakan.

Kelima, untuk menjalankan fungsi pencadangan/logistik pangan, negara bisa saja membentuk lembaga pangan khusus untuk menjaga cadangan pangan negara. Namun badan ini harus berjalan sesuai fungsi negara, yaitu sebagai pelayan dan pelindung rakyat, bukan sebagai unit bisnis. Oleh karenanya, anggaran lembaga ini akan didukung penuh oleh baitulmal. Sistem pendanaan dalam negara khilafah yang pos pendapatan dan pengeluarannya sesuai syariat, bukan atas dasar kepentingan penguasa.

Semua kebijakan ini tak bisa diterapkan sepanjang kita belum mencabut sistem ekonomi kapitalisme. Maka, jika benar kita hendak mewujudkan ketahanan pangan dan hilangnya mafia perdagangan, hanya Islam lah solusinya. Wallahu a’lam bish showab.

Exit mobile version