BANDA ACEH – Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso membeberkan sejumlah informasi yang diterimanya mengenai latar belakang pembentukan hingga tugas dari Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Merah Putih yang dipimpin mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo.
Satgas Merah Putih dibubarkan Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo setelah Ferdy Sambo terbelit kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Berdasarkan informasi yang diperolehnya, Sugeng menjelaskan awalnya Satgassus Merah Putih diusulkan saat Jenderal Polisi Tito Karnavian menjadi Kapolri.
Tujuan dari satgas Merah Putih ini didirikan untuk menjaga stabilitas keamanan terkait menguatnya adanya gerakan radikal.
Ketika diajukan kepada DPR pada 2017, kata Sugeng, sesungguhnya DPR sudah menolak karena fungsinya akan tumpang tindih dengan satuan kerja Polri yang sudah ada.
Pada 2019, lanjut dia, Satgassus diketuai Idham Azis dan Ferdy Sambo menjadi sekretarisnya.
Kemudian saat Idham Azis menjadi Kapolri, Ferdy Sambo kemudian menjadi Ketua Satgassus sampai Satgas tersebut dibubarkan Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Ia memperkirakan Ferdy Sambo telah menjadi Ketua Satgassus selama tiga periode.
Hal tersebut disampaikannya dalam Diskusi Publik: Teka-Teki Satgassus Merah Putih di kanal Youtube KontraS, Senin (5/9/2022).
“Terjadi perubahan fungsi dari Satgasus pada zaman Idham Azis. Secara tegas Satgassus ini dibuat SPRIN oleh Kapolri untuk menangani kasus-kasus yang mendapat atensi pimpinan,” kata Sugeng.
Sugeng mengatakan yang dimaksud dengan atensi tersebut tidak dijelaskan dalam SPRIN tersebut.
Namun demikian, kata dia, atensi tersebut bermakna perhatian pada kasus-kasus khusus.
“Kasus-kasus khusus ini ketika saya tanya menyangkut misalnya kasus-kasus yang high profile, kasus-kasus yang terkait tindak pidana yang melibatkan kerugian yang besar, atau nilai yang besar, kasus-kasus yang menarik perhatian publik, kasus-kasus yang menjadi atensi dari Presiden atau lembaga-lembaga negara, high profile termasuk di sana,” kata Sugeng.
Satgassus, lanjut dia, kemudian diberi kewenangan untuk menangani lima kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana yang diatur dalam lima Undang-Undang (UU).
Lima UU tersebut yakni menyangkut psikotropika, narkotika, TPPU, korupsi, dan ITE.
“Dari lima UU ini terlihat bahwa perkara yang diserahkan kepada Satgassus adalah perkara-perkara yang ‘mewah’. ‘Mewah’ itu adalah tindak pidana yang memang akan melibatkan satu potensi penanganan kasus dengan nilai yang besar,” kata dia.
Karena itu, kata dia, banyak perkara-perkara terkait pengungkapan kasus narkoba yang besar diungkap Satgassus.
Namun demikian, lanjut dia, yang jadi pertanyaan adalah bagaimana akuntabilitas kerja dari Satgasus.
Karena, kata Sugeng, dalam SPRIN tersebut administrasi penanganan perkara Satgassus melekat pada Satuan Kerja di Bareskrim administrasinya.
“Akan tetapi saya mendapat informasi bahwa Satgasus ini memiliki keleluasaan yang besar dalam penanganan kasus ini, walaupun administrasinya ada pada Satker Bareskrim,” kata dia.
Sugeng mengaku baru mengetahui Satgassus tersebut ketika kasus Ferdy Sambo mencuat.
Pihaknya, kata dia, kemudian menyampaikan lima alasan agar Satgassus dibubarkan.
Pertama, kata dia, Satgassus tersebut adalah polisi elite.
“Karena 421 orang untuk SK SPRIN Stagassus yang terkahir ini adalah orang-orang yang dipilih berdasarkan kedekatan daripada para pimpinan-pimpinan. Di sana ada sebagai penasihat Kapolda beberapa wilayah, kemudian Saambo sendiri sebagai Kadiv Propam,” kata dia.
Kedua, lanjut dia, terjadi demoralisasi di kalangan polisi yang bukan merupakan anggota Satgassus.
Ketiga, kata Sugeng, adanya tumpang tindih kewenangan karena penyelidikan dan penyidikan sebetulnya kewenangan Satker Reserse.
Keempat, kata dia, Satgassus itu tidak memiliki dasar legalitas yang kuat.
Kelima, lanjut dia, posisi Sambo sebagai KetuabSatgasus bersamaan posisinya sebagai Kadiv Propam menimbulkan konflik kepentingan yang sangat besar dan di sana terjadi pemusatan kekuasaan.