BANDA ACEH – Pada 2015, pakar lingkungan Palestina Abeer al-Butmeh dan organisasinya menemukan banyak jejak bahan kimia di lahan pertanian Gaza.
Hal itu terjadi karena pada tahun sebelumnya Israel melancarkan perang selama 50 hari di Gaza, yang menewaskan sedikitnya 2.251 warga Palestina saat mereka membombardir wilayah kantong tersebut.
Al-Butmeh dan rekan-rekannya dari jaringan LSM Lingkungan Palestina – Friends of Earth Palestine (PENGON-FoE Palestine) melakukan analisis dampak lingkungan di Gaza dan menemukan banyak daerah yang menjadi sasaran rudal dan bom Israel menjadi “tidak subur dan membutuhkan rehabilitasi intensif.” Mereka juga mendapati kualitas udara di sebagian besar kawasan menurun karena partikel dan bahkan timbal, sementara jumlah hewan dan burung liar pun berkurang.
Serangan hama, hewan pengerat, dan serangga juga banyak ditemukan di beberapa daerah, dan para nelayan melaporkan penurunan jumlah ikan tertentu dan kenaikan populasi dari spesies lainnya.
Mengenai kualitas air, para ahli tersebut memperingatkan akan ada polusi logam berat pada masa depan.
“Kami menemukan bahwa sebagian besar lahan pertanian menjadi tidak subur untuk digunakan. Jadi, serangan ini mencemari air, merusak pertanian, dan keanekaragaman hayati,” kata Butmeh dalam wawancara kepada Kantor Berita Anadolu.
Sepuluh tahun kemudian, ketika Israel melancarkan serangan paling mematikan di Gaza, aktivis Palestina itu khawatir akan ada konsekuensi yang lebih parah dan berjangka panjang terhadap lingkungan di wilayah tersebut.
“Dampak perang ini akan berlangsung sangat lama,” kata dia, berbicara tentang penggunaan senjata dan artileri dalam jumlah besar oleh Israel dan menyebutnya sebagai “tindakan yang paling kejam.” Diperkirakan, Israel, yang dituduh melakukan genosida di Mahkamah Internasional, telah menjatuhkan lebih dari 65.000 ton bahan peledak di Gaza sejak 7 Oktober tahun lalu.
Tentara Zionis telah menewaskan lebih dari 31.300 warga Palestina, melukai lebih dari 73.100 lainnya, dan meluluhlantakkan daerah kantong tersebut.
“Mereka menargetkan Gaza dengan bom dan senjata lainnya. Mereka menggunakan senjata ilegal dan terlarang seperti fosfor putih. Jadi mereka telah merusak seluruh elemen kehidupan,” kata Butmeh.
Dampak dari ribuan ton bahan kimia yang menembus air tanah dan tanah itu sendiri tidak terbayangkan, kata dia. Peringatan yang sama datang dari David Boyd, pelapor khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia dan Lingkungan Hidup, yang mengatakan kepada Anadolu bahwa “operasi militer di Gaza mempunyai konsekuensi yang sangat buruk bagi iklim dan lingkungan.” Hal itu termasuk “polusi karbon dalam jumlah besar, polusi udara, air, dan tanah, dan memaparkan warga Palestina pada berbagai macam zat beracun,” katanya.
Juga akan ada dampak buruk dari “energi dan material yang digunakan, serta polusi dan emisi yang dihasilkan dalam produksi dan penggunaan kendaraan serta senjata militer,” ia menambahkan.
Efek yang luas Warga Palestina di Gaza sudah lama memiliki akses sangat terbatas terhadap lahan pertanian, dan serangan Israel saat ini menargetkan sumber daya yang sudah terbatas itu, menghancurkan pohon-pohon zaitun, tanaman stroberi, dan pertanian, kata Butmeh.
Pejabat PBB Boyd mengatakan, “tanaman, buah-buahan, kacang-kacangan, dan pohon telah dihancurkan,” meskipun mereka tak memiliki data konkret mengenai hal tersebut.
Butmeh juga bicara tentang dampaknya terhadap kehidupan laut, mengatakan bahwa bahan kimia berbahaya merembes ke laut dan menghancurkan populasi laut.
Penyakit pernapasan juga kemungkinan akan meningkat karena disebabkan semua bahan kimia dan emisi, termasuk fosfor putih, kata dia. Boyd menekankan bahwa Israel juga telah merusak infrastruktur air dan sanitasi di Gaza. “Akibatnya adalah meluasnya kekurangan air minum, pelanggaran hak asasi warga Palestina atas air yang aman dan cukup serta sanitasi yang memadai,” kata dia.
“Beberapa gejala penyakit yang paling umum akibat air yang terkontaminasi termasuk sakit perut, demam, mual, muntah, dan diare.
” Butmeh menekankan bahwa Gaza sudah kesulitan akses air bersih sebelum serangan Israel terkini, dengan hampir 97 persen air di Gaza tidak layak digunakan untuk keperluan sehari-hari.
Sumber air utama Gaza adalah akuifer pesisir dan “pendudukan Israel mengendalikan aliran air hujan untuk memenuhi akuifer itu,” kata Butmeh.
“Jadi konsumsi air yang berlebihan dari sumber air tersebut mengakibatkan masuknya air laut ke dalam akuifer itu. Air laut menembus akuifer dan masyarakat hanya mendapatkan air asin untuk diminum,” jelasnya.
Sekarang, karena Israel telah memutus semua bahan bakar, air, makanan, dan listrik, instalasi pengolahan air tidak berfungsi sehingga air limbah mengalir ke laut tanpa diolah. “Jadi, air limbahnya juga merembes ke akuifer air utama,” kata dia. “Saat ini, kebanyakan orang bergantung pada air laut untuk membersihkan diri dan mencuci pakaian.
Beberapa orang minum air asin.” Dampak rekonstruksi Butmeh mengatakan rekonstruksi Gaza akan memakan waktu lebih dari satu dekade dan akan menimbulkan dampak lingkungan yang sangat besar.
Dengan 80 persen dari seluruh perumahan hancur total atau sebagian, maka akan timbul limbah konstruksi dalam jumlah besar.
Pembuangan limbah konstruksi itu akan menjadi tantangan besar, begitu pula dengan adanya campuran limbah medis dan limbah padat domestik.
Sementara itu, Boyd menambahkan bahwa dibutuhkan energi dan material tambahan untuk membangun kembali Gaza, mulai dari jalan, sekolah, rumah sakit, hingga pengolahan air dan limbah.
Butmeh dan LSM-nya saat ini sedang berupaya melakukan penilaian dampak lingkungan yang lebih mendalam di Gaza. Mereka mengumpulkan sampel tanah tetapi tidak dapat mengeluarkannya dari Gaza karena blokade total dari Israel.
Karena Israel telah merusak atau menghancurkan semua universitas di Gaza, Butmeh mengatakan pengujian laboratorium tidak mungkin dilakukan di wilayah itu.
Apabila serangan Israel berakhir, Butmeh dan kelompoknya ingin mengumpulkan lebih banyak sampel air dan udara dan memperkirakan penelitian komprehensif bisa berlangsung selama tiga tahun.
Badan PBB untuk program lingkungan UNEP, melalui surel kepada Anadolu, menyatakan telah menerima permintaan resmi dari Palestina untuk melakukan penilaian terhadap dampak lingkungan akibat konflik di Gaza.
Bagi Butmeh, Israel harus bertanggung jawab atas “kejahatan lingkungan” di Jalur Gaza. “Apa yang terjadi di Gaza adalah ekosida dan genosida,” kata dia. “Mereka melanggar hukum internasional yang berbeda … melakukan kejahatan lingkungan yang berbeda, dan yang pasti, Israel harus bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan lingkungan ini,” ujarnya