BANDA ACEH – Militer Israel menjalankan taktik licik terhadap warga sipil di Jalur Gaza utara pasca memanasnya serangan Hamas dan Israel pasca serangan mendadak Hamas ke wilayah Israel pada 7 Oktober 2023 lalu.
Militer Israel meminta para warga sipil Gaza agar segera mengungsi ke wilayah lain dan mengosongkan pemukiman mereka karena akan melaksanakan operasi militer dari udara, Jumat 13 Oktober 2023.
Tanpa dinyana, saat warga sipil berupaya memenuhi perintah tersebut, militer Israel menghajar iring-iringan truk dan mobil yang ditumpangi ratusan warga sipil yang sedang dalam perjalanan mencari tempat aman di Jalur Gaza bagian selatan.
Sebanyak 70 orang warga sipil Gaza meninggal oleh serangan mematikan tersebut.
Salah satu korban selamat dalam serangan itu adalah Samah Murad Msameh, seorang ibu rumah tangga. Saat kejadian dia bersama warga sipil lainnya menaiki truk berkonvoi dengan kendaraan lainnya menuju Jalur Gaza di selatan.
Sementara itu, bagi jurnalis foto lepas Sameh Murad (29) peristiwa serangan udara Israel terhadap konvoi kendaraan yang ditumpangi warga sipil Gaza pada Jumat 13 Oktober 2023 tersebut sungguh tak dapat dia lupakan.
Dia sedang berada di Rumah Sakit al-Shifa pada saat peristiwa terburuk itu terjadi.
Dina Taher, istrinya, bersama anak perempuan dia, ibu dan saudaranya laki-lakinya telah meninggalkan Kota Gaza pada hari itu dengan mengendarai truk pick-up, menuju ke selatan menuju Khan Younis.
Dina Taher meninggal oleh serangan bom Israel. “Dia adalah cinta dalam hidupku,” katanya kepada Al Jazeera. “Saya rasa saya tidak akan pernah bertemu orang seperti dia lagi,” tutur Sameh Murad sedih.
Sameh menikahi Dina Taher pada tahun 2021. Dina sempat stres selama seminggu karena Israel tak henti-hentinya membom Kota Gaza.
Dina mengkhawatirkan keselamatan kedua putrinya, Mayar yang berusia 22 bulan dan Mirna yang juga masih bayi.
Sameh mengatakan, hari itu Israel meminta warga Palestina di Gaza utara untuk mengungsi dan menuju ke selatan, dan Dina berpikir mereka harus melakukan hal tersebut, agar aman dan selamat.
“Dia tidak yakin, tapi dia juga khawatir, jadi pada akhirnya dia pergi,” kata Sameh.
Saat istrinya memutuskan mengungsi ke selatan, Sameh memutuskan tetap tinggal di Rumah Sakit al-Shifa bersama jurnalis lain yang bekerja dari sana.
Saat itu rumah sakit tersebut jadi tempat berlindug ribuan orang yang kehilangan rumah dan berkumpul dalam ketakutan.
Namun para pengungsi menjadi sasaran bom Israel dari langit. Lebih dari 70 orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak, tewas dalam konvoi tersebut.
Sameh panik ketika mendengar keluarganya berada di salah satu truk yang menjadi sasaran, korban tewas dan luka-luka dibawa ke Shifa, katanya.
Sebuah mobil penumpang membawa keluarganya kembali ke Rumah Sakit al-Shifa. Sameh berlari ke mobil dan menarik putrinya dengan lega. Kemudian dia menyadari bahwa Dina Taher tidak ada di dalam mobil.
“Ambulans membawa mereka yang terbunuh ke pintu masuk lain,” katanya terbata-bata. “Saya tahu dia sudah pergi.
“Saya tidak dapat menggambarkan perasaan saya saat menerima panggilan telepon pertama yang meminta saya memeriksa keluarga saya karena truk telah ditabrak. Penantian yang menyiksa untuk melihat apakah mereka semua baik-baik saja,” tuturnya.
Ibun kandung Sameh, Samah Murad Msameh, 47 tahun, telah berada di al-Shifa sejak konvoi tersebut diserang. Dia merawat cucu-cucunya dan saudara laki-laki Sameh, Waseem, yang terluka dalam pemboman tersebut.
Berada di tempat yang sama dengan Sameh sangat membantu.
Setiap kali dia ada waktu istirahat dalam pekerjaannya, dia akan datang menemui mereka dan menghabiskan waktu bersama putri-putrinya, bermain dengan mereka dan sedikit mengalihkan perhatian mereka.
Hal ini juga membantunya, karena gadis-gadisnya ada di dekatnya dan dia bisa mencari mereka setiap kali ada suara menakutkan dan dia bertanya-tanya apakah mer
Msameh masih shock atas apa yang terjadi. “Agresi ini berada pada tingkat yang berbeda,” katanya sambil menarik napas dengan gemetar.
Mereka baru saja keluar dari Kota Gaza, dekat Shujayea, katanya, ketika orang-orang di jalan mulai memperingatkan konvoi tersebut untuk kembali karena mereka mendengar bahwa pengungsi lainnya telah terbunuh. Namun truk-truk tersebut terus melaju, sejauh sekitar 20 meter (66 kaki), sebelum terdengar ledakan.
“Saya belum pernah mendengar suara seperti itu sebelumnya. Kami diliputi asap hitam tebal dan jeritan terdengar di sekitarku, telingaku dipenuhi jeritan orang lain tetapi aku tidak bisa melihat apa yang sedang terjadi.
“Menantu perempuan saya mengalami pendarahan di dahinya. Saya mencoba menyeka darahnya dan menanyakan apa yang terjadi padanya,” tuturnya.
“Ketika dia memalingkan wajahnya, saya melihat dia kehilangan matanya dan saya mulai berteriak. Lalu saya menyuruhnya untuk tetap terjaga, bahwa dia harus kuat, saya akan memanggil ambulans dan kami akan keluar dari sana.
“Kemudian anak saya Waseem mulai berteriak bahwa kakinya terluka. Serangan-serangan itu masih menimpa kami dari langit,” ungkapnya.
“Saya berhasil mendorong putri saya keluar dari bak truk, yang penuh dengan orang tewas dan terluka, dan menyuruhnya berlari secepat yang dia bisa.
“Anak saya berteriak agar saya membantunya tetapi yang bisa saya lakukan hanyalah menyuruhnya berbaring karena saya khawatir lukanya akan bertambah parah.
“Sekitar 30 orang dari kami bersembunyi di balik pembatas beton yang dulunya merupakan pos pemeriksaan polisi di dekat jalan raya.”
“Kemudian malaikat berwujud sopir berhenti di dekat truk dan saya melihatnya menggendong anak saya ke mobilnya. Saya berlari ke arah mereka, dan dia membawa kami semua ke rumah sakit.
Sejak itu, saya tidak bisa tidur satu menit pun. Putriku tidak bernyawa, tidak ada emosi atau reaksi darinya. Menantu perempuan saya, ya… Tuhan mengistirahatkan jiwanya.
“Setiap kali saya menutup mata, saya melihat orang-orang terbunuh, menantu perempuan saya berdarah, dan anak saya berteriak ‘Tolong saya’. Saya tahu saya memerlukan terapi berbulan-bulan hanya untuk bisa melewati ini. Saya tidak tahan dengan apa yang saya saksikan,” ungkap Samah Murad Msameh.
Sumber: Gelora