“Sekarang saja besar potongannya sudah lebih besar dari kenaikan upah tahunan, kalau nanti nambah lagi dana pensiun ini, Tapera, jadinya potongan-potongan itu akan semakin membunuh kenaikan gaji saya,” kata Abi.
Tabungan dana pensiun bukan prioritas Abi saat ini karena dia masih harus menabung dana darurat. Apalagi Abi khawatir dengan ancaman PHK yang mengintai para pekerja.
Sejauh ini, iuran JHT dan JP adalah satu-satunya persiapan Abi untuk masa pensiun.
Sementara itu, Filani, 32, mengatakan bahwa pemerintah seharusnya fokus membenahi tata kelola sistem jaminan sosial yang sudah ada dulu ketimbang mengeluarkan kebijakan baru.
Setelah di-PHK, Filani baru mengetahui bahwa perusahaan tempat dia dulu bekerja melaporkan upahnya sebesar UMR. Padahal, gajinya sudah tiga kali naik.
Bahkan begitu dia hendak mengajukan klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), perusahaan tidak kunjung menyerahkan surat keterangan bahwa dia terkena PHK ke Dinas Ketenagakerjaan.
Bagi Filani, jangankan memikirkan masa pensiun, masa sekarang saja terasa sulit.
“Yang seperti ini aja enggak kelar-kelar masalahnya, terus mau ada peraturan baru lagi?” kata Filani.
Pekerja lainnya, Meryam Zahida, 32, berpendapat sama. Dia menilai iuran dana pensiun tambahan ini tidak mendesak untuk diterapkan saat ini.
Selama bekerja, dia mengaku rutin menyisihkan penghasilannya untuk menabung, termasuk untuk dana pensiun.
Namun Meryam pernah terkena PHK pada tahun 2023, yang membuatnya menyadari ada isu-isu lain soal pekerjaan yang lebih mendesak diselesaikan oleh pemerintah yakni soal keamanan pekerjaan (job security).
“Pemerintah mau menagih iuran ke siapa kalau masyarakat banyak yang kehilangan pekerjaan? Sudah cukup pemerintah menarik iuran ke kelas menengah, sebaiknya tagih iuran pajak yang tinggi ke orang-orang kaya,” kata Meryam.
Menurut Direktur Eksekutif TURC, Andriko Otang, reaksi-reaksi itu sangat wajar dan bisa dipahami muncul dari kalangan pekerja dan kelas menengah.
Pekerja yang upahnya pas-pasan akan memiliki prioritas jangka pendek, sementara pemerintah tampaknya ingin para pekerja berpikir jangka panjang.
“Pemerintah harus melihat realita, mereka punya tidak alokasi yang cukup untuk membiayai dana tambahan itu? Kalau dipaksa, para pekerja tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar,” ujar dia.
Sementara itu, rata-rata kenaikan upah minimum provinsi (UMP) pada 2015-2024 hanya rata-rata 6,6% per tahun.
“Kebutuhan jangka pendeknya saja belum terpenuhi, kok mikirnya yang jauh dulu. Jangan salahkan kalau kelas pekerja mengkritisi, jangan-jangan dananya digunakan untuk yang lain,” ujar Andriko.
Perlukah menambah iuran dana pensiun?
Secara prinsip, iuran pensiun yang diwajibkan oleh pemerintah melalui sistem jaminan sosial di BPJS-TK saat ini memang belum ideal untuk jangka panjang.
Menurut Timboel, idealnya besar iuran BPJS perlu naik secara bertahap menjadi 8% sesuai amanat Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015.
Kalau tidak, BPJS berpotensi mengalami defisit pada tahun 2072 dan tidak mampu membayar manfaat bagi pekerja yang sudah pensiun.
Namun setelah hampir 10 tahun, pemerintah pun belum punya solusi atas itu.
Sejauh ini, iuran untuk JHT adalah sebesar 5,7% dari upah dengan pembagian 2% ditanggung pekerja dan 3,7% ditanggung perusahaan.
Untuk JP, iurannya sebesar 3% dengan pembagian 1% ditanggung pekerja dan 2% ditanggung perusahaan.
Selain untuk mencegah defisit, penambahan porsi iuran juga dinilai penting agar penerima manfaat dapat memperoleh dana pensiun yang lebih layak.
Ini dapat mengurangi potensi generasi selanjutnya menjadi “generasi sandwich”, ujar Andriko.
Akan tetapi, Andriko mengatakan skema baru bukanlah jawaban dari persoalan ini kalau pemerintah benar-benar punya niat untuk mensejahterakan masa pensiun para pekerja.
“Seharusnya diintegrasikan saja dengan yang sudah berjalan di BPJS-TK,” kata Andriko.
“Kalau pemerintah mau memberlakukan, alternatifnya adalah menerapkan batas bawah penghasilan. Jadi masyarakat yang pendapatannya pas-pasan jangan kena. Kalau yang kena upahnya per bulan di atas Rp25 juta, reaksinya tidak akan sebesar ini