BANDA ACEH -Langkah dan prosedur DPR RI memberhentikan Aswanto dari kursi Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sekaligus Hakim Konstitusi, dan menggantikannya dengan Sekretaris Jendral MK Muhammad Guntur Hamzah, dinilai melanggar UUD 1945.
Hal tersebut disampaikan mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie usai beraudiensi bersama 8 mantan Hakim Konstitusi lainnya yang hadir secara fisik dan virtual di Kantor MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Sabtu (1/10).
Jimly menuturkan, usai mendapat penjelasan dari Guntur soal pemberhentian Aswanto, selain karena ada proses yang tidak transparan, DPR RI juga dinilai tidak memahami maksud surat yang dikirimkan MK untuk menjelaskan putusan uji materiil UU 7/2020 tentang MK yang mengatur soal masa jabatan Hakim Konstitusi.
“Ini salah paham dalam memahami isi surat MK, jadi DPR itu salah memahami,” ujar Jimly.
Selain itu, Jimly juga menjelaskan bahwa akibat dari kesalahpahaman DPR RI dalam merespon surat penjelasan dari MK tersebut, akhirnya muncul salah tafsir dari DPR RI mengenai norma yang diatur di dalam Pasal 24C ayat (3) UUD NRI 1945.
Aturan di pasal 24 C ayat (3) tersebut berbunyi; “MK mempunyai sembilan hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden yang diajukan masing-masing tiga orang oleh MA, DPR, dan Presiden”
Sepenglihatan Jimly, DPR RI menganggap Pasal 24 C ayat 3 memberikan kewenangan memberhentikan Hakim Konstitusi yang sedari awal diajukan oleh mereka.
“Jadi kesimpulan kami pertama, ini jelas melanggar UUD. UUD sudah tegas mengatur. Jadi lembaga yang 3 ini mengajukan, (bisa dilihat dari kata yang digunakan di Pasal 24 C ayat 3) ‘diajukan oleh’, jadi bukan diajukan dari,” urai Jimly.
“Itu selalu saya gambarkan, apa beda (kata) ‘oleh’ dan ‘dari’ (di dalam UU). ‘Oleh’ itu cuma merekrut jadi bukan dari dalam,” sambungnya.
Dari situ, Jimly yang kini tengah menjabat sebagai Anggota DPD RI menegaskan bahwa tidak bisa norma itu dipersepsikan bahwa Hakim Konstitusi yang dipilih oleh DPR itu adalah orangnya DPR.
“Seperti tercermin dalam statement dari Komisi III (DPR RI),” tambah Jimly menegaskan.
Lebih lanjut, Jimly memastikan seluruh mantan Hakim Konstitusi yang hadir dalam pertemuan dengan struktur pimpinan lembaga MK hari ini, termasuk Mahfud MD yang pernah menjabat sebagai Ketua MK dan kini tengah menjadi Menko Polhukam, sepakat dengan konklusi yang menyatakan DPR RI melanggar UUD 1945.
“Dengan pertemuan tadi juga beliau (Mahfud MD) baru engeh juga. Oh begini (masalahnya). Tapi kesimpulan kita sama, ini melanggar konstitusi, melanggar Undang Undang dan salah paham terhadap maksud MK,” demikian Jimly.
Selain Jimly dan Mahfud, mantan Hakim Konstitusi yang hadir secara langsung dalam pertemuan dengan Sekejen MK Guntur Hamzah sore tadi ialah Maruarar Siahaan dan Hamdan Zoelva.
Sementara lima mantan Hakim Konstitusi sisanya hadir secara virtual melalui aplikasi zoom, ialah Mohammad Laica Marzuki, Harjono, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, dan I Dewa Gede Palguna.