Minggu, 17/11/2024 - 03:42 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

NASIONAL
NASIONAL

Jokowi Melawan Orang yang Membesarkannya: Megawati dan Prabowo?

OLEH: ANTHONY BUDIAWAN*

JOKOWI dibesarkan PDIP dan Gerindra, dibesarkan Megawati dan Prabowo. Tentu saja ada sponsor yang disebut sembilan naga. Tapi, siapa mereka, rill atau fiksi?

Nama sembilan naga yang beredar kurang kredibel. Masa tidak ada naga kelapa sawit, atau naga batubara? Malah yang ada nama Edward Soeryadjaya, yang sekarang sedang tersandung hukum.

Naga mengajukan Jokowi pada Pilgub 2012. Deal. Jokowi hanya diusung dua partai saja, PDIP dan Gerindra. Ketika itu Jokowi bukan siapa-siapa. Hanya bermodalkan mobil Esemka, yang sampai sekarang tidak kelihatan wujudnya. Maka ada yang bilang mobil gaib.

Pada putaran kedua, Jokowi masih diusung oleh PDIP dan Gerindra. Melawan Fauzi Bowo yang diusung semua partai politik lainnya. Jokowi menang, menjadi gubernur DKI periode 2012-2017.

Sponsor ‘sembilan naga’ tidak puas sampai di situ. Pilpres 2014 semakin dekat. Prabowo maju sebagai calon presiden. Megawati harusnya mendukung Prabowo, sesuai kesepakatan Batutulis.

Tapi mengejutkan, PDIP malah mencalonkan Jokowi sebagai capres melawan Prabowo. Jokowi menerima, padahal sebelumnya mengatakan ingin menyelesaikan jabatan gubernur sampai 2017.

Jokowi menikmati permainan para sponsor ‘sembilan naga’. Jokowi meninggalkan Prabowo, satu dari dua tokoh yang membesarkannya.

Pilpres 2019 tidak banyak berubah. Hanya ada dua capres. Jokowi melawan Prabowo lagi. Jokowi masih didukung PDIP dan parpol koalisi lainnya.

Prabowo hanya didukung Gerindra dan PKS. Memang ada Demokrat, tapi terlihat setengah hati. Karena AHY tidak menjadi cawapres Prabowo. Dan UU pemilu mewajibkan Demokrat mendukung salah satu capres.

Prabowo kalah lagi, tapi heroik. Bahkan ada yang mengatakan seharusnya Prabowo menang. Tapi siapa yang tahu? Kecuali penyelenggara pilpres, yang sengaja menggunakan kotak suara kardus dengan gembok baja?

Meskipun demikian, Prabowo ditarik ke dalam kabinet. Jokowi dan para sponsor sudah tidak perlu oposisi kuat. Oh ya, memang masih ada PKS, tapi satu partai bisa apa? Tidak membahayakan.

Memang ada juga Demokrat di luar kabinet. Tapi sulit dikatakan sebagai oposisi, meskipun dalam beberapa hal bertentangan dengan pemerintah. Tapi jiwa oposisi tidak terlihat pada Demokrat. Tidak seperti PDIP sewaktu menjadi oposisi pada pemerintahan SBY.

Pilpres 2024 semakin dekat. Jokowi sepertinya bersimpangan jalan dengan Megawati. Jokowi dan para sponsor mau mendukung capres sendiri, mungkin yang penurut dan bisa diperintah. Ganjar tampaknya masuk kriteria mereka.

Di lain pihak, Megawati tidak suka Ganjar, yang dibesarkan PDIP tapi sekarang mau melawan: pengkhianat. Megawati sangat benci pengkhianat, tiada kata maaf baginya.

Jokowi juga akan dianggap pengkhianat kalau sampai mendukung capres yang bertentangan dengan Megawati. Terlebih kalau mendukung Ganjar. Kalau ini terjadi, bisa menjadi musibah yang sempurna bagi Megawati: Megawati akan berhadapan dengan dua orang yang dibesarkannya.

Kalau ini terjadi, kemarahan dan kebencian Megawati pasti memuncak. Karena, mendukung Jokowi dan para sponsor oligarki pada dua pilpres yang lalu membuat nama PDIP ‘tercemar’.

PDIP kini bukan lagi partai pembela ‘wong cilik’ marhaen, melainkan partai pembela oligarki. Karena memang banyak produk undang-undang yang ditetapkan sejak 2014 sangat pro-oligarki dan merugikan ‘wong cilik’. Misalnya UU Cipta Kerja.

Kebijakan-kebijakan pemerintah lainnya juga banyak yang memberatkan beban hidup ‘wong cilik’. Misalnya, kebijakan harga pangan dan harga BBM yang melonjak, tanpa ada bantuan (memadai). Dengan Membiarkan semua ini terjadi, PDIP jelas sudah keluar dari filosofi partai ‘wong cilik’ marhaen.

Hasilnya, Indonesia sejak 2014 sudah menjelma menjadi negara oligarki plutokrasi. Yaitu, negara dikendalikan oleh sekelompok kecil pengusaha, yang merangkap penguasa.

Ada yang mengatakan hal ini sama saja dengan era Soeharto. Tentu saja sangat beda. Ketika itu Soeharto mengendalikan pengusaha dalam membangun ekonomi, dan Soeharto memilih pengusaha, bukan dikendalikan pengusaha.

Perusahaan konglomerat ketika itu jauh lebih kecil dari BUMN, dengan rasio pendapatan terhadap PDB tidak terlalu signifikan. Kesenjangan sosial pada era Soeharto juga jauh lebih baik.

1 2

Reaksi & Komentar

وَمَن يَرْغَبُ عَن مِّلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلَّا مَن سَفِهَ نَفْسَهُ ۚ وَلَقَدِ اصْطَفَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا ۖ وَإِنَّهُ فِي الْآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ البقرة [130] Listen
And who would be averse to the religion of Abraham except one who makes a fool of himself. And We had chosen him in this world, and indeed he, in the Hereafter, will be among the righteous. Al-Baqarah ( The Cow ) [130] Listen

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi