“Pada intinya, kami melihat Pak Yaniarsyah itu korban salah sasaran. Kalau masalahnya adalah soal fee, ada 9 aktor lain yang masih ada di luar sana yang harus ditangkap,” ujarnya.
Banyak sekali kejanggalan dalam perkara ini terungkap di persidangan, kata Ifdhal, oleh karena itu, pihaknya dalam naskah nota pembelaan setebal 281 hal itu, telah memohon kepada Majelis Hakim untuk membebaskan AYH dari segala tuntutan hukum.
“Benar-benar tidak ada pasal pidana yang bisa diberikan kepadanya. Mereka pengusaha, investor, pakai uang sendiri membangun bisnis ini. Kita semua harus hati-hati, karena kasus ini bisa menjadi preseden buruk yang menakutkan bagi pebisnis dan investor, ini akan berakibat buruk bagi daerah, dan bisnis di Indonesia,” imbuh Mantan Ketua Komnas HAM itu.
Sementara itu rekan Ifdhal, Aristo Seda SH MH menambahkan, dalam perkara kliennya, sangat susah baginya untuk menemukan unsur pidana, baik dari sisi perbuatan melawan hukum maupun dari aspek keuangan negara. Aristo mengutip pendapat Prof Dr Edward Omar Sharif Hiariej yang mengatakan bahwa dari segi teori hukum keuangan negara, kekayaan negara/daerah adalah kekayaan yang sudah dipisahkan pada BUMN/BUMD, sudah tidak lagi merupakan kekayaan negara/daerah, karena telah terjadi transformasi hukum yang disebut dengan methamorphose hukum.
“Apabila pembagian fee dan bonus di perusahaan swasta PT PDPDE Gas oleh pemegang saham mayoritas (PT DKLN) adalah sesuatu yang diperjanjikan, maka perlu dipahami bahwa terkait perjanjian tersebut berlaku asas pacta sun servanda, suatu perjanjian bersifat mengikat terhadap para pihak layaknya sebuah undang-undang,” tegasnya.
Ia mengatakan hal tersebut harus dipahami sebab perbuatan tersebut hanya melaksanakan perjanjian yang sudah dibuat, dan tidak bersifat melawan hukum. Advokat J Kamal Farza mengatakan, kasus ini adalah tantangan berat bagi Majelis Hakim.
Di satu sisi terdakwa beserta keluarganya meletakkan harapan kepada Majelis Hakim, di sisi lain JPU menuntut maksimal perkara yang tidak ditemukan unsur pidananya.
“Yang mulia sebagai benteng terakhir dari keadilan akan memutus perkara ini dengan seadil-adilnya,” ujar Kamal.
Kemal mengatakan bahwa mantan Ketua Mahkamah Agung Harifin A. Tumpa tidak sependapat jika pembebasan terdakwa kasus korupsi dipermasalahkan. Jika memang tidak terbukti bersalah, seorang terdakwa tidak bisa dihukum. Kalau tidak terbukti, boleh bebas.
“Keadilan tidak melulu dari hakim yang memvonis terdakwa, jakim bahkan tidak berlaku adil jika memvonis terdakwa yang tidak bersalah,” imbuhnya.